Tertutupnya Pesta Demokrasi UTM

InkamsLpm – Pemilu Raya (Pemira) UTM untuk pemilihan Presiden Mahasiswa dan Wakil Presiden Mahasiswa  yang digelar pada, selasa (19/11) menggunakan sistem penghitungan suara di dalam ruangan dan tertutup untuk umum.

Proses penghitungan suara pada Pemira 2019 digelar tertutup di dalam ruangan dan hanya boleh disaksikan oleh panitia TPS dan saksi dari kedua Paslon. Selain itu susahnya mendapat data Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadikan transparansi pada Pemira 2019 dirasa kurang.

Terdapat empat Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pemira 2019 dan dari ke empat TPS tersebut masing-masing telah dimintai data DPT oleh reporter LPM Inkams, namun hanya satu TPS yang memberikan data jelas sejak awal yaitu TPS  di Fakultas Hukum yang digabung dengan Fakultas Keislaman. Selebihnya beralasan karena daftarnya terlalu banyak dan susah untuk direkap datanya sehingga jumlah total tidak diketahui.

Nuruddin, ketua DPM KM 2019 saat dimintai data DPT oleh reporter LPM Inkams mengatakan pihaknya tidak berani untuk memberikan dan menyuruh agar meminta sendiri ke rektorat.

“saya tidak berani memberikan, silahkan minta ke rektorat,” ucapnya.

Sementara itu untuk mekanisme penghitungan suara yang digelar tertutup dalam ruangan,  ketua TPS FEB Kholik Abdullah mengatakan bahwa penghitungan dalam ruangan adalah kesepakatan antara kedua kubu, Paslon 1 dan 2 serta untuk meminimalisir adanya kericuhan.

“itu adalah kesepakatan antara kedua kubu paslon dan untuk meminimalisir kericuhan,” ungkapnya.

Dalam proses penghitungan suara, khalayak umum berhak untuk melihat dan menyaksikan, sesuai dengan asas demokrasi: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Pemilih juga mempunyai hak untuk menyaksikan proses penghitungan suara bukan hanya saksi dari masing-masing kubu. Bahkan salah satu reporter dari LPM VOL sempat dilarang untuk mengambil gambar hasil penghitungan suara dari FISIB dan Fakultas Pertanian sebelum akhirnya diperbolehkan oleh ketua DPM yang saat itu datang.

Abdullah, salah satu mahasiswa yang tidak bisa menggunakan hak suaranya karena sistem yang terlalu rumit mengaku kecewa pada pemira tahun ini. Dirinya tidak bisa menggunakan hak suaranya dikarenakan KTM miliknya hilang dan harus menggunakan KRS serta kartu identitas lain seperti KTP atau SIM. Sedangkan Abdul juga kebetulan tidak memiliki keduanya dikarenakan hilang. Dia mengatakan seharusnya cukup dengan KRS saja karena mahasiswa yang memiliki KRS sudah dapat dipastikan masih aktif menjadi mahasiswa.

Abdul juga tidak sepakat dengan sistem penghitungan suara yang dilakukan tertutup di dalam ruangan. Menurutnya semua orang berhak tahu proses penghitungan suara sehingga lebih transparan.

“KPUM harus transparan, penghitungan suara juga berhak diketahui oleh pemilih yang lain bukan hanya saksi dari kedua kubu,” tegasnya. #jp/cty

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop