PEMIRA UTM: PERMASALAHAN MEMBOSANKAN YANG SELALU SAJA BERULANG

Rangkaian pembelajaran semester ganjil akan berakhir bersamaan dengan penutupan tahun 2022. Hal tersebut menandakan bahwasannya pesta demokrasi di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) akan berlangsung tidak lama lagi. Selayaknya sebuah negara, dalam dunia kampus juga terdapat sebuah Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilu-nya dunia kampus ini lebih familiar disebut sebagai Pemilihan Raya (Pemira). Bagi yang belum mengerti, Pemira sendiri merupakan sebuah mekanisme untuk menentukan seorang pemimpin Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) dari skala Universitas hingga Fakultas, anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas dan Fakultas, serta Ketua Umum Himpunan Mahasiswa (HIMA) dari berbagai Program Studi (Prodi).

Selayaknya sebuah pesta maka dalam Pemira ini biasannya berlangsung meriah, mulai dari sebelum berlangsungnya kegiatan hingga semua agenda selesai, bahkan ketika semua rangkaian telah berakhir suasana dari Pemira ini tetap saja masih memanas. Mahasiswa UTM yang utamanya sudah menginjak semester 4 atau lebih mungkin sudah sangat familiar dengan bagaimana ‘kemeriahan’ pesta yang akan terjadi baik sebelum maupun setelah adanya fenomena Pemira ini; sengitnya persaingan kampanye Pasangan Calon (Paslon), munculnya kubu-kubu yang mendukung paslon, dan saling sindir antara para kubu pendukung yang berakhir dengan perpecahan dalam ruang lingkup pertemanan. Melihat fenomena tersebut, kadang terbesit pada pikiran saya “Gunane opo? UKT mu yo gak dibayari Paslon mu”.

Dahulu saat masih menjadi mahasiswa baru, yang saya bayangkan tentang Pemira ini yakni sebuah event yang dapat dijadikan sebagai transportasi kadaulatan mahasiswa dan acuan implementasi pemilihan yang sehat dengan menggunakan sikap demokrasi, etis, dan juga kompetitif. Namun sangat disayangkan dalam penerapannya, demokrasi yang terjadi di Universitas Trunojoyo Madura pada saat ini menurut saya  mengalami defisit. Bagaimana tidak, esensi demokrasi yang seharusnya melibatkan rakyat (mahasiswa) secara utuh pada kegiatan Pemira, termasuk salah satunya yakni penentuan dan pemutusan suara yang semestinya bukan hanya didominasi oleh beberapa golongan tertentu ternyata malah berlaku sebaliknya. Gelaran pesta demokrasi yang harusnya dapat dirayakan oleh semua kalangan mahasiswa, malah hanya menjadi acara dari suatu golongan saja. Hal itu terlihat dalam hal penentuan kepanitiaan penyelenggara Pemira yang masih berjamur kaum-kaum dari Organisasi Mahasiswa Eksternal (Ormek) tertentu.

Jika menyinggung terkait masalah tersebut, sebenarnya sah-sah saja ketika seorang mahasiswa yang tergabung di dalam sebuah Ormek untuk dapat dipercaya menjadi anggota dari penyelenggara sebuah event sebesar Pemira ini. Namun masalahnya, para Paslon yang maju dalam Pemira ini biasanya juga merupakan bagian dari suatu Ormek, apalagi dirinya berada di Ormek yang sama dengan para anggota penyelenggara Pemira tersebut, pertanyaan yang selalu muncul di benak saya adalah, apakah mereka tidak akan melakukan pelbagai macam cara untuk memenangkan kawannya sendiri? Tidak ada salahnya juga pembaca berburuk sangka seperti saya, buktinya pada tahun-tahun sebelumnya sering ditemui beberapa kejanggalan-kejanggalan terkait mekanisme Pemira ini.

Berkaca pada edisi sebelumnya, mahasiswa dihadapkan dengan adanya pasangan calon tunggal Presiden Mahasiswa (Presma) yang maju dalam Pemira, otomatis Paslon tersebut menjadi pasangan yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa. Namun dalam pelaksanaanya sendiri terdapat berbagai macam kejanggalan yang terjadi, salah satunya yakni tidak disediakannya kotak kosong dalam pemilihan Paslon, yang berarti mahasiswa tidak memiliki opsi dalam menentukan pasangan mana yang akan dipilih. Permasalahan seperti itulah yang pada akhirnya membuat para mahasiswa menjadi enggan untuk peduli terhadap adanya pesta demokrasi di UTM, para mahasiswa merasa dipaksa harus memilih salah satu Paslon saja dan tentu saja mereka merasa Pemira ini hanya sekadar formalitas belaka, agar tetap terlihat menerapkan nilai-nilai demokrasi. Maka dari itu kebanyakan dari mereka lebih memilih sikap bodo amat pada hal tersebut. Sikap apatisme dari para mahasiswa timbul bukan tanpa sebab musabab, akan tetapi hal tersebut timbul karena terdapat kebosanan mengenai hal-hal monoton yang selalu berulang kali terjadi setiap tahunnya.

Tidak berlakunya sistem LUBERJURDIL pada Pemira UTM

Dalam kegiatan Pemilu yang kata LUBERJURDIL mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Ya, LUBERJURDIL sendiri merupakan kepanjangan dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil.  Jika 6 kata tersebut dapat dipahami dengan akal sehat, maka seharusnya seorang yang berstatus sebagai mahasiswa semestinya paham akan implementasinya dalam sebuah Pemira. Baiklah jika ada yang mengatakan bahwa asas LUBERJURDIL tersebut sangat sering dilanggar saat penyelenggaraan Pemilu di negeri ini, namun pertanyaannya sekelas kaum yang digadang-gadang menjadi agent of change apakah pantas melanjutkan pelanggaran tersebut? Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut tidak perlu dijabarkan disini. Pertanyaan mengenai “memilih siapa nanti?” yang sepertinya sudah sering ditemui saat Pemilu ternyata masih terbawa ke dunia kampus, hal tersebut menunjukan bahwa asas “rahasia” sudah memudar atau bahkan tidak diterapkan lagi. Fenomena yang terjadi di lapangan membuktikan masih terdapat banyak para pengusung calon (Timses) yang memberanikan diri untuk bertanya kepada para mahasiswa umum perihal siapa calon yang akan mereka pilih, tentu saja dengan membangun narasi “pilihan ditangan kamu” sebagai alibi setelah mempromosikan pasangan calon yang mereka dukung. Seolah hanya mencuci tangan agar tidak kelihatan untuk mempromosikan dan melakukan penodongan atas hak suara.

Merebaknya propaganda-propaganda licik

Propaganda merupakan sebuah upaya yang disengaja untuk membentuk persepsi, sehingga memunculkan dogma tertentu. Dalam Pemira UTM ini, baru saja kemarin penulis mendapatkan sebuah kiriman pesan whatsapp berisikan propaganda dari salah satu pendukung Paslon, dimana isi kiriman tersebut memperlihatkan suatu bentuk kecaman terhadap admin sebuah grup mahasiswa baru angkatan 2022 untuk menegakkan asas deklarasi kampanye. Kecaman tersebut disinyalir merupakan tindakan sepihak terhadap grup mahasiswa baru yang digunakan untuk mengirim ajakan deklarasi terbuka (kampanye) dari salah satu Paslon, dan tidak memperkenankan dari anggota grup untuk mengirim pesan, oleh karena itu pendukung Paslon yang lain merasa dirugikan. Dilatarbelakangi oleh fitur yakni hanya admin grup saja yang dapat mengirimkan pesan, tindakan tersebut dirasa merupakan bentuk pemanfaatan grup mahasiswa baru oleh pihak pendukung paslon untuk mempengaruhi pikiran orang banyak. Fenomena seperti itu yang bisa saja membuat para mahasiswa menjadi muak dengan rentetan gelaran Pemira, mereka mungkin berpikir bahwa Pemira terlalu banyak menimbulkan drama.

Bagi-bagi jabatan kepada golongannya sendiri

Habis menang terbitlah pembagian jabatan, entah apa yang menjadi alasan yang mendasari bagi-bagi jabatan tersebut. Menelaah secara pribadi, penulis berfikir tujuan dari mereka untuk berbagi jabatan sendiri kemungkinan guna memudahkan kordinasi terhadap regulasi yang akan dijalankan kedepannya. Menilik kinerja periode lalu, BEM sebagai lembaga eksekutif dan DPM merupakan lembaga legislatif, yang seharusnya mereka saling beradu ide untuk kemaslahatan bersama akan tetapi apabila terjadi suatu hal yang terkesan menyalahi aturan, mereka terlihat sangat kooperatif dalam menyalahi aturan tersebut. Dalam benak saya, apakah latar belakang yang sama (golongane dewe) itu yang menjadikan regulasi atau peraturan yang dikeluarkan DPM lempeng lempeng saja alias ngikut. Hal tersebut sangat disayangkan apabila tupoksi dari legislatif digunakan sebagai senjata kebijakan oleh pihak eksekutif, untuk kasus nyata seperti yang dilakukan badan legislatif Indonesia, DPR membuat RUUKUHP beberapa bulan yang lalu yang sekarang telah menjadi perundang-uandangan baru; Jika fungsi badan legislatif ditunggangi oleh kepentingan pihak lain maka sangat rentan peraturan yang akan dibuatnya sesuai dengan pemimpin yang memperkasainya.

Tidak ada dampak yang dirasakan dari adanya Pemira

Bagi mahasiswa yang mengikuti perkembangan kinerja sistem trias politica di UTM mungkin merasa aneh dengan kalimat diatas. Namun tidak dapat dipungkiri, dalam lingkungan kampus UTM terdapat berbagai macam tipe mahasiswa, salah satunya adalah mahasiswa yang hanya fokus dalam bidang akademik saja dan tidak memiliki minat pada keorganisasian sama sekali. Kemungkinan mereka tidak peduli tentang siapa para calon yang akan terpilih, dan mereka juga pasti berfikir untuk apa juga jika para pasangan calon tersebut terpilih, toh para mahasiswa ini belum tentu dimintai andil bagian dalam melakukan program kerja ketika para Paslon itu terpilih. Jika dipikir lebih dalam lagi itu memang benar adanya, para orang-orang yang terpilih pada akhirnya hanya berkutat pada proker maupun rapat yang sebetulnya tidak bermula dari kebutuhan dan keresahan dari mahasiswa. Ketika ada kemungkinan untuk mahasiswa umum mengambil bagian, mereka hanya akan dijadikan sebagai pegawai event organizer.

Dari poin-poin yang telah dijabarkan, tidak ada gunanya menyalahkan mahasiswa ketika dirinya mengambil sikap apolitis. Kepasifan mahasiswa mustinya bisa dimaklumi bila diamati dari esensi serta tujuan Pemira. Jika permasalahan-pemasalahan yang terjadi ini terus berlanjut, Pemira terkesan hanyalah ajang tahunan yang tak lagi mendapatkan hati mahasiswa.

Konsep representatif menjadi fajar di pelupuk senja yang lenyap begitu saja, pemilihan sendiri bukan hanya tentang persolan siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi perihal siapa yang pantas dan dapat bertanggung jawab atas amanah yang telah dimandatkan. Menjadi pemimpin bukan sekadar perihal gagah-gagahan atas pencapaian yang telah diperoleh. Namun para calon pemimpin harusnya sudah paham bahwa menjadi pemimpin harus menjadi seorang manusia seutuhnya dan seadil-adilnya. Sebagaimana ucap Pramoedya, “Terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Untaian kata tersebut sangat relevan digunakan dalam kampus Universitas Trunojoyo  Madura hari ini.

Representasi perwakilan sendiri pada hakikatnya yakni mahasiswa merasa terwakili untuk menyampaikan aspirasinya ke pihak rektorat, fakultas, maupun prodi. Akan tetapi,  yang terjadi dalam ruang lingkup kampus UTM menjadi pemimpin atau seorang wakil rakyatnya mahasiswa hanyalah berupa kepentingan kedudukan, alat untuk mengisi curriculum vitae bagi mereka, dan yang paling menjijikkan hanya sebatas dorongan suatu golongan tertentu agar kaumnya dapat mendominasi birokrasi kampus. Ya semoga pemimpin yang mengemban amanah setelah ini dapat mewakili mahasiswa dan diharapkan juga membawa perspektif pemimpin yang layak untuk dijadikan pemimpin. Salam peace untuk para petinggi yang diawal kepemimpinanya berorasi akan membawa perubahan untuk kita mahasiswa proletar, semoga tidak hanya menjadi tong kosong yang nyaring bunyinya. Hahahaha.

Oleh: Billy Lafi Aula

Editor: Ahmad Naylin Ni’am Asshobir

1 Comment on PEMIRA UTM: PERMASALAHAN MEMBOSANKAN YANG SELALU SAJA BERULANG

  1. Good artikel, saya pribadi Pun miris melihat apa yang terjadi di UTM. Gembar gembor menjadi pemimpin yang demokratis, tapi nyatanya mereka sendiri yang mengawali kepemimpinannya dengan tidak demokratis. Saya sendiri akhir-akhir ini pun banyak mendapat pesan ajakan untuk mendukung dan memilih paslon tertentu, bahkan ada yang sampai meminta KTM saya. Hahaha sangat licik menurut saya, melucuti hak suara mahasiswa untuk menentukan pilihannya. Akhir kata, saya setuju dengan apa yang disampaikan penulis. “Tidak ada salahnya jika kita menjadi mahasiswa apolitis”, lebih baik begitu memang daripada mengikuti dogma yang hanya untaian kata manis tanpa bukti nyata ,hahaha
    Terima kasih, setelah membaca ini fikiran saya menjadi lebih terbuka.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop