Tren Bunuh Diri Mahasiswa bukan hanya Persoalan Akademik

Beriring berkembangnya teknologi, media sosial menjadi kebutuhan utama remaja saat ini untuk menyenangkan diri. Dapat dirasa, bahwa media sosial mampu membantu pengguna menurunkan tingkat stres menjadi lebih rileks. Akan tetapi, penggunaan media sosial secara berlebihan juga akan mengganggu kesehariannya. Pengguna media sosial sebagian besar adalah remaja jika dibandingkan dengan golongan orang tua, diasumsikan tingkat stres remaja lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua, berdasarkan rasio konsumsi remaja terhadap media sosial.

Di penghujung akhir semester seperti saat ini, sering saya temukan bermacam-macam keluhan dari teman-teman terkait banyaknya tugas kuliah yang berakibat ke lingkungan sosial. Sebagai contoh yang sering dijumpai, yaitu menolak ketika diajak berkumpul karna alasan dikejar deadline, dengan raut wajah dan intonasi suara yang seolah mengeluh terkait tugas kuliahnya. Bukan karena apa, memandang fenomena semacam itu penulis takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Apalagi akhir-akhir ini banyak berita beredar terkait bunuh diri, di antara mereka sebagian besar adalah remaja (mahasiswa). Dari berbagai informasi ihwal bunuh diri, kejadian itu belatar berbagai sebab. Sehingga belum diketahui secara pasti penyebab utamanya. Namun, salah satu penelitian menemukan bahwa depresi merupakan momok tumbuhnya ide bunuh diri pada remaja. Jika dirunut, hal itu mendapat respon salah satu kampus ternama di Yogyakarta sapaan akrabnya UGM dengan mengeluarkan regulasi larangan dosen killer, sebagai upaya meminimalisir maraknya mahasiswa bunuh diri. Padahal banyak faktor lain yang menyebabkan depresi selain tekanan akademik, seperti halnya; ekonomi, relationship, dan lain sebagainya. Sekiranya sudah tergambarkan motivasi bunuh diri, barulah pertanyaan-pertanyaan dilayangkan, apa yang seharusnya dilakukan?

Stoikisme Adalah Kunci

Faktor penyebab depresi tidak hanya karena rasa takut, tapi juga karena rasa khawatir atau cemas yang berlebihan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya hendak menghadirkan pemikiran filsuf bernama Zeno sebagai tokoh utama konsep filsafat stoikisme. Sejak lama (300 tahun sebelum masehi) filsafat ini sudah ada, dan nampaknya masih relevan untuk diterapkan hingga sekarang. Terkhusus kalangan remaja. Stoikisme tidak bersifat dogmatis seperti agama, karena tidak memiliki aturan yang mutlak di dalamnya dan siapapun bisa menerapkan tanpa kecuali. Filsuf stoa tidak berfokus pada bagaimana cara bahagia, tapi lebih menekankan pada pengendalian emosi negatif. Salah satu tujuan stoikisme yaitu sebuah kebajikan, maka untuk sampai kesitu perlu selaras dengan alam (singkatnya, sebagai manusia perlu menggunakan nalar, berbeda dengan binatang). Perumpamaan simpel dalam kehidupan mahasiswa, misalnya kita mendapat nilai jelek dari dosen, akibatnya kita kesal kemudian muncul (emosi negatif). Maka jika hal itu terjadi,  kita sudah tidak selaras dengan alam. Kita tidak berpikir tentang penyebab dosen memberikan nilai jelek kepada kita (mahasiswa), karena dalam hidup pasti ada keterkaitan, ada hukum sebab dan akibat, tidak ada yang betul-betul “kebetulan”. Nilai jelek dosen kepada mahasiswa yang dijadikan contoh merupakan rantai peristiwa yang disebabkan oleh kita yang kurang belajar atau sebab-sebab yang lain. Untuk mengendalikan emosi negatif, filsafat stoikisme menawarkan dikotomi kendali; memisahkan antara sesuatu yang ada dalam kendali kita (seperti opini, pertimbangan, keinginan, dan lainnya), dan sesuatu yang diluar kendali kita (seperti opini orang lain atau persepsi orang lain, tindakan orang lain kepada kita, kondisi saat lahir dan lain sebagainya).

Dalam kehidupan mahasiswa, filsafat stoikisme membantu anda dalam mengatasi persoalan maraknya kekhawatiran, depresi, bunuh diri. Filsuf stoa tidak menggantungkan kebahagiaan pada yang tidak bisa dikendalikan olehnya, orang yang tidak bahagia artinya gagal dalam mengendalikan emosi, karena menggantungkan kebahagiaan pada apa yang tidak bisa dikendalikan. Seperti contoh kasus nilai jelek yang di berikan dosen kepada mahasiswa, nilai yang diberikan oleh dosen merupakan suatu hal yang diluar kendali kita (terkadang ada dosen yang badmood, itu bukan kendali kita), sedangkan yang ada dalam kendali kita yaitu belajar secara maksimal. Contoh lebih spesifik dikotomi kendali dalam kehidupan mahasiswa: tugas kuliah menulis artikel, penugasan tersebut diluar kendali kita, yang ada dalam kendali kita yaitu belajar dan menyelesaikan sesuai kemampuan kita. Siapapun yang terbelenggu untuk memenuhi diluar kendalinya, maka tidak akan pernah merdeka. Kesimpulannya depresi yang berakibat bunuh diri pada mahasiswa tidak hanya disebabkan oleh tekanan akademik, akan tetapi kecemasan atau kekhawatiran yang berakibat kegagalan dalam mengendalikan pikirannya.

Tidak dapat dipungkiri masalah akan silih berganti yang terpenting bagaimana sikap kita serta cara kita mengahadapi. Filsafat stoikisme merupakan solusi yang relevan saat ini, dengan pendekatan dikotomi kendali yang ditawarkan. Kendati demikian kita juga perlu menggaris bawahi perilaku stoikis bukan menjadikan diri kita apatis terhadap sekitar.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop