Skripsi di Tengah Pandemi: Hilang Motivasi hingga Perayaan Berlebihan yang Menyertai

Rasanya perlu untuk menulis esai lagi setelah beberapa bulan terakhir bertemu dengan jurnal dan segala revisi yang diberikan oleh dosen pembimbing tercinta. Jadi harap maklum jika pembahasannya terlalu monoton dan membosankan bagi pembaca.

Meski pandemi corona telah berlangsung selama 1 tahun, tetapi beberapa kampus berhasil menyelenggarakan wisuda secara tatap muka bagi mahasiswanya yang telah menyelesaikan masa belajar dengan menyelesaikan skripsinya. Senang melihat ada teman seangkatan melaksanakan wisuda periode pertama tahun 2021 meskipun penulis belum juga melaksanakan sidang akhir hingga saat ini, sungguh tidak apa-apa.

Pandemi corona bukan hanya merusak tatanan perekonomian negara ini, namun juga merusak semangat serta motivasi saya untuk mengerjakan skripsi karena banyak hal diantaranya tidak bisa bertemu dosen pembimbing secara langsung, tidak ada kawan untuk diskusi masalah skripsi meskipun jika bertemu justru malah bergosip, kesusahan untuk mengakses buku diperpustakaan serta tugas akhir kakak tingkat untuk dijadikan referensi. Sebagai manusia yang akan dicap sebagai “lulusan corona” saya sangat menginginkan bimbingan secara langsung dengan dosen pembimbing. Ingin mendengarkan teori luar biasa dan idealisme dosen dalam memberikan “ACC ” pada judul skripsi mahasiswanya.

Karena ingin sekali merasakan bimbingan secara langsung yang sudah nyata tidak akan terjadi, alhasil malah menjadikan beberapa mahasiswa akhir lebih malas untuk berkonsultasi secara virtual pada dosen pembimbing. Terlebih lagi muncul pertanyaan sensitif bagi kami mahasiswa akhir seperti “kamu kapan wisuda?”, “sudah sampai bab berapa?”, “kapan mau seminar proposal?”, “nanti habis lulus mau kerja dimana,” dan yang sebenarnya pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh waktu.

Sudah hilang motivasi dan ditambah dengan pertanyaan sensitif itu tentu menjadi mahasiswa akhir harus menyiapkan mental yang kuat dan hati yang lapang untuk menerimanya. Perjalanan untuk menjadi seorang sarjana tentu sangat panjang. Dimulai ketika harus mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) setiap semester, terkadang harus berebut kelas dengan kawan untuk menghindari dosen killer, berangkat kuliah di pagi hari, mengerjakan tugas dan ujian semester, magang, penyusunan skripsi, seminar proposal (Sempro), hingga sidang akhir. Sehingga banyak dari mahasiswa ketika berhasil melampaui satu tahap tersebut mereka merasa perlu untuk memberikan apresiasi kepada diri sendiri.

Tapi terkadang ada yang membuat saya mengernyitkan dahi karena banyak mahasiswa yang terlalu berlebihan dalam merayakan tahapan mereka untuk menjadi seorang sarjana. Hal semacam ini biasanya ditandai dengan seorang mahasiswa yang telah selesai mempresentasikan proposal penelitian yang kemudian akan disambut oleh teman-temannya menggunakan mahkota ala Do It Yourself (DIY), buket, jajan, atau hadiah semacamnya yang kemudian akan difoto dan bahkan menjadi spam story pada semua media sosial mereka. Menurut saya perayaan semacam ini justru akan menjadi beban. Proposal merupakan suatu rancangan, syukur alhamdulillah kalau penelitian bisa dilaksanakan dengan baik. Lha kalau tidak? Lha naudzubillah juga sih. Belum lagi kalau ternyata spam instastory yan diunggah melukai hati teman yang belum melaksanakan seminar proposal.

Belum habis masalah Sempro, saat sidang akhir telah dilaksanakan tentu mahasiswa akan lebih bahagia lagi karena impiannya untuk menjadi sarjana lebih dekat. Kawan datang membawakan printilan khas sidang akhir berupa buket bunga, jajan, dan slempang bertuliskan nama dan gelar kita atau bahkan tulisan “selamat menjadi masyarakat kembali” yang akan membuat rasa bangga pada diri sendiri. Padahal sidang akhir merupakan momen di mana kita akan dibantai habis oleh dosen penguji untuk mempertanggung jawabkan apa yang kita tulis. Kemudian akan muncul kembali revisi akhir untuk menyempurnakan skripsi tersebut. Lalu, di mana letak kebahagiaan yang sebenarnya dinantikan itu? Entahlah, silakan pembaca mencari sendiri jawabannya. Oh ya, berbicara mengenai ucapan “selamat menjadi masyarakat kembali” terdengar mengganjal dan menimbulkan tanya dalam diri saya. Memangnya ketika seseorang sudah menjadi mahasiswa kemudian hilang status “masyarakatnya” begitu? Entahlah, lagi-lagi saya kebingungan.

Entah siapa yang pertama kali memunculkan kebiasaan mewah semacam itu. Beberapa kali saya melihat pada unggahan story WhatsApp kawan saya yang baru saja melaksanakan Sempro atau sidang akhir. Terlihat sangat banyak kado tas, baju, kerudung dengan merk yang cukup terkenal dan harganya tentu cukup mahal. Perayaan semacam ini saya rasa hampir mirip dengan sistem buwuh yang mana seseorang memberikan uang atau bahan yang kepada tuan rumah sebagai sumbangan suatu upacara atau pesta. Analoginya demikian, ketika kita melaksanakan Sempro kemudian kawan datang dan memberikan hadiah, maka akan muncul rasa hutang dalam diri yang mengharuskan untuk memberikan hadiah kembali ketika teman tersebut juga melakukan Sempro atau sidang akhir. Namun yang menjadi permasalahan adalah, tidak semua mahasiswa memiliki uang lebih untuk melakukan hal itu. Mereka yang hidup pas-pasan harus selalu menabung untuk kehidupan dimasa yang akan datang.

Saya tahu bahwa menjadi seorang sarjana merupakan impian banyak orang dan bukan hal mudah untuk mencapainya. Perayaan dengan maksut bersyukur atas pencapaian yang telah dicapai bisa dilaksanakan dengan sederhana, tidak berlebihan, dan tidak merugikan atau mengganggu pihak lain. Karena setelah lulus kuliah, sarjana muda akan disibukkan kembali dengan kehidupannya karena masih banyak hal yang perlu untuk dicapai dan kembali “dirayakan”. Terkadang kita terlalu bahagia dan overproud atas keberhasilan yang kita dapatkan saat itu sehingga kita lupa untuk bersyukur.

Jika membahas tentang ini maka saya jadi teringat salah satu lagu favorit saya dari band Nosstress yang kurang lebih maknanya adalah bahwa kita tidak perlu terlalu berbahagia dan juga tidak perlu terlalu bersedih atas peristiwa yang ada dalam kehidupan kita. Perjalanan kita untuk menjadi mahasiswa masih sangat panjang, akan masih banyak susah dan senang yang akan kita temui dalam perjalanan menjadi manusia.

Sepertinya sudah cukup panjang tulisan ini. Semoga saya dan juga pembaca bisa menjadi manusia yang secukupnya dalam segala hal dan sebanyak-banyaknya dalam bersyukur. Tetap waras dan bahagia selalu.

 

Penulis : Laili Yulia Aprina

Mahasiswi Program Studi Akuntansi.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop