Rahayu

Klunteng…

Bunyi notifikasi ponsel membangunkan tidur siang Maria. Seorang mahasiswi semester dua di Universitas Trunojoyo Madura.

Belakangan ini kebiasaan Maria suka mengecek ponsel ketika ada notifikasi yang masuk. Bukan karena ada pesan dari pacarnya, perempuan dengan kulit berwarna kuning langsat ini tidak pernah mendapati perhatian sekecil apapun dari seorang pria sebayanya. Maria sadar, bahwa untuk hidup dengan layak seperti orang pada umumnya saja sangatlah susah, dan waktunya kerap dibagikan untuk membantu ibunya berjualan nasi bungkus rumahan demi tercukupinya kebutuhan keluarga.

__

Maria beranjak dari tempat tidurnya, sambil mengibas rambutnya yang kemerahan akibat seringkali bermandikan oleh terik matahari, matanya masih sayup, pikirannya dipenuhi oleh harap, bahwasannya ada kabar baik terkait kejelasan penurunan UKT dari kampus asalnya. Perempuan itu mendekati ponselnya dengan langkah gontai, tangannya yang mungil mulai menjamah ponsel berwarna ungu, warna yang anggun bagi seorang perempuan. Jarinya menari ketika mengusap layar ponselnya, matanya mulai menerawang jeli melihat isi pesan.

Ah, alangkah brengseknya, layar ponsel tidak menampilkan apa yang ingin Maria ketahui saat itu. Maria kembali merebahkan tubuhnya di kasur usang mendiang bapaknya. Terhitung sudah tiga tahun kecelakaan lalu lintas tragis itu terjadi. Kecelakaan beruntun yang melahap 9 korban, salah satunya Pak Moses, bapak Maria.

Pak Moses dulunya adalah seorang kurir di salah satu perusahaan jasa pengiriman barang. Sebelum ditinggalkan oleh Pak Moses, perekonomian keluarga Maria tercukupi, dengan dibantu Ibu Maria mendagangkan nasi bungkusnya sebagai tambahan penghasilan keluarga. Hitung-hitung sudah bisa menutupi biaya untuk keperluan rumah tangga, juga membayar biaya sekolah Maria pada saat itu.

“Maria, rene diluk nak”  

(Maria, kesini sebentar nak)

Suara sang ibu menerobos masuk melalui rongga-rongga bilik kamar, Maria yang tersadar, kembali membuka matanya, rasanya tak pernah sekalipun Maria mengingkari atau berkata “ah” ketika mendengar perintah yang keluar dari mulut perempuan yang welas asih itu. Maria tertegun sejenak, sebelum merapikan rambutnya dan segera mengindahkan apa yang diucapkan ibunya.

Kaki Maria menghampiri sumber suara, berjalan keluar melewati pintu, diatasnya ada banyak sarang serangga bermukim di genteng rumah, ruang tamunya sederhana, cukup untuk menampung tidak lebih dari 10 orang. Sementara ibunya berada di dapur, menyiapkan bahan masakan sebagai persiapan berjualan esok pagi.

“Enggih buk, enten nopo?”

(Iya bu, ada apa?)

Jawab Maria halus, sudah sewajarnya bagi Maria untuk menggunakan Bahasa krama inggil di daerahnya, apalagi kepada orang tua kandungnya. Maria tinggal di daerah yang dikenal dengan kota santri, senandung pujian-pujian setelah dikumandangkannya adzan sudah bukan hal baru bagi telinganya. Tembang “tombo ati, syair al I’tiraf, dan sholawat nariyah” mampu jadi penenang kalbu kala hati mengharu biru, seolah oase tersendiri di gurun gemuruhnya gemerlap duniawi, anak kecil berlarian dengan bola dipelukannya, mencuci kaki dan memeluk kasih di haribaan ibu. Yah, pada senjakala waktu bumi menutup jubahnya, dan matahari mengucap sayonara pada bayang manusia dan segala ambisinya.

“Kuliahmu masuk kapan, nak?” tanya Ibu

“Tengah bulan niki, buk” Jawab Maria gampang.

(Tengah bulan ini, bu)

“Lha terus sidane offline opo online maneh, nak?” tanya Ibu memastikan.

(Lah terus jadinya offline atau online lagi, nak?)

“Dereng ngertos Ibuk. Dereng wonten pengumuman ndugi kampus” jelas Maria.

(Belum tau Ibu. Belum ada pengumuman dari kampus)

Maria menundukkan pandangannya, mencermati tangan keriput Ibunya yang dengan lihai mengupas bawang, sesekali Maria melihat matanya, kantung matanya sedikit kehitaman, hidungnya pipih, tak seperti hidung Maria meskipun ia anak kandungnya. Maria dalam hal paras lebih mewarisi bapaknya, hidungnya cerucup, selintas terpikir oleh penulis seperti tokoh grace dalam serial film Peaky Blinders.

“Lek melbu offline piye, nak?” lanjut ibu.

(Kalau masuk offline gimana, nak?)

“Kiro-kiro akeh gak biaya hidup ndek kono?” Tambah Ibu dengan suara lirih.

(Kira-kira banyak tidak biaya hidup disana?)

Pertanyaan perempuan dengan uban menghiasi rambutnya itu membuat Maria tertegun, Maria sadar, jika perkuliahan dilaksanakan secara offline, artinya Maria harus meninggalkan kampung halamannya dan pergi menyemai kehidupan baru di tanah rantau. Keputusan yang sulit pikirnya, Maria tidak sampai hati meninggalkan ibunya seorang diri memeras keringat demi tercukupinya kehidupan hari ke hari. Di lain sisi, semangat memperoleh pendidikan di perguruan tinggi sedari dulu menjadi dambaan baginya.

Memang ada kalanya seorang anak harus berdikari, meninggalkan semerbak aroma gabah dan rumput belukar di lingkungannya, yang selanjutnya singgah menempa diri di tanah orang, memperbanyak khazanah keilmuan, dengan bertemu wajah baru, berkenalan dengan budaya baru, dan tentunya mencapai gelar sarjana yang katanya sangat sakral itu. Demi menanggalkan sayap-sayap yang utuh mengibas udara dan menuju suar kehormatan bagi dirinya, juga tentu keluarganya.

“Lumayan ibu” jawab Maria singkat.

“Ibu gaiso njamin biaya uripmu nang kono, nak. Penghasilan ibu yo gak akeh. Ibu mung iso ngirim duit  300 sak ulan” terang ibu.

(Ibu tidak bisa menjamin biaya hidupmu disana, nak. Penghasilan ibu tidak banyak. Ibu hanya bisa kirim uang 300 satu bulan)

Maria terdiam, dalam benak memikirkan, dengan uang saku 300 ribu mungkin tidak akan cukup untuk menghidupinya selama sebulan. Namun, dengan ambisinya yang bergelora demi meraih Pendidikan, Maria berhenti memikirkan hal itu, sebaliknya Maria mempertimbangkan dengan pikiran yang optimis dan realistis.

“Enggeh kersane buk, mboten nopo-nopo” jawab Maria antusias.

(Iya tidak apa apa, bu)

Oke tidak apa-apa, mungkin 300 ribu sebulan bukan nominal yang banyak atau bahkan dirasa kurang. Dengan itu Maria mulai merencanakan bagaimana mengelola pengeluaran dengan baik ketika berada di Madura nantinya. Untuk tempat teduh, mungkin Maria bisa menetap di asrama kampus, tidak ada organisasi internal maupun eksternal yang diikuti Maria, sehingga Maria bisa fokus pada perkuliahannya saja, untuk makan, Maria bisa menghemat pengeluarannya dengan membeli lauk tempe, memasak tempe yang sudah dikeringkan agar tempe tidak mudah menjamur, dan bisa dikonsumsi dalam kurun waktu lama. Tidak untuk sekedar ngopi atau membeli jajanan kaki lima. Tidak juga jasa laundry, Maria kecil sudah dididik mandiri untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Apabila Maria kekurangan biaya dan menghambat kehidupannya nanti, Maria siap bekerja paruh waktu, dengan menjadi penjaga outlet makanan seperti: kebab, teh poci, atau berjualan apapun demi tercukupinya kebutuhan.

“UKT ne sido ono penurunan toh, nak?”

(UKT nya jadi ada penurunan, nak?)

Sekali lagi pertanyaan ibunya, kembali membuat Maria gelisah, sampai saat ini Maria belum menyelesaikan administrasinya, mustahil keluarganya bisa menyiapkan uang yang begitu besar dalam waktu singkat. Biasanya ketika membutuhkan uang yang besar, keluarga Maria pergi mengutang kepada tengkulak yang beristri banyak di desa tempat tinggalnya. Dengan jaminan dibayar secara dicicil untuk melunasinya.

“Dereng wonten pengumuman lanjutan, buk” jawab Maria pelan.

(Belum ada pengumuman lanjutan, bu)

Maria bergumam, apabila tidak ada kebijakan penurunan UKT mungkin Maria akan mengandaskan mimpinya untuk meraih gelar sarjana yang dirinya idam-idamkan. Utang keluarga Maria sendiri sudah terlampau menggunung, dirinya tidak kuasa melihat beban tanggungan yang sebegitu banyak tertanam di punggung ibunya. Atau mungkin Maria bisa menunda pendidikannya, rehat sementara dan mulai mengirimkan surat-surat lamaran pekerjaan pada beberapa industri besar yang beroperasi di kota, demi membantu meringankan beban sang ibu. Pikiran Maria mulai nekat, atau bahkan dirinya memilih untuk menjadi selir tengkulak desa, berharap kehidupannya bisa terjamin, melanjutkan Pendidikan dengan status mempelai Wanita, dan hidup di desa, dekat dengan seorang perempuan terkasih ibundanya tanpa berjualan nasi bungkus lagi pinggir jalan. Tentunya pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala Maria.

Pada akhirnya, perempuan itu memilih menunggu, berharap keajaiban menghampiri dirinya. ada keganjilan tertentu, ketika keinginan bercumbu dengan penderitaan. puing-puing harap akan selalu bermuara pada tuju, kendaraannya adalah budi pekerti, sekalipun ombak kesengsaraan menerpanya. Perempuan akan menemukan emansipasinya sendiri, sebagai simbol keluhuran bagi dunia dan saksi tegas bagi tanah pertiwi ini.

Bersyukurlah kalian seluruh perempuan yang tumbuh mekar di tanah penuh gambus, berangkat dari rahim yang layak, dan ASI tanpa keringat. Bersyukurlah…

Penulis : Muhammad Zaki Wahyudi

Ilustrator: Billy Lafi Aula

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop