Kekhawartiran Mengenai Perkuliahan, hingga Ketidakjelasan Sistem Pembelajaran

Kita semua tentu tahu bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi ‘kawan’ untuk kita, selama lebih dari 2 tahun ini. Dan tidak bisa dipungkiri, Covid juga banyak merubah kebiasaan kita. Kebiasaan yang sebelumnya tidak kita terapkan, sekarang telah dianggap lumrah. Termasuk salah satunya adalah pembelajaran secara daring (dalam jaringan).

Saat awal adanya Covid, kita tidak terbiasa dengan kuliah daring. Bahkan penulis sendiri pun menganggap bahwa kuliah daring masih ‘terlalu canggih’ untuknya. Semua serba bergantung pada gadget. Belum lagi jika ada masalah dengan jaringan, dan dosen tidak mau memahaminya. Kita pun hanya bisa pasrah, karena kondisi jaringan memang tidak dalam kendali kita.

Terbiasa bersosialisasi, kemudian dipaksa kuliah ‘sendiri’.  Belum lagi penulis sempat gagal mengumpulkan jawaban ujian dikarenakan kondisi jaringan, serta keadaan-keadaan pendukung lainnya. Hal ini sempat membuat penulis merasa stress dan tertekan, atau mungkin juga bagi kalian para pembaca.

Setelah beberapa waktu berlalu, mungkin banyak dari kalian sudah merasa sangat nyaman dengan keadaan ini. Sudah terlalu nyaman kuliah di rumah, membuat banyak dari kalian sudah enggan untuk kembali kuliah secara tatap muka. Dan yang terpenting adalah tidak perlu tinggal jauh dari orang tua. Segala keperluan mungkin sudah tercukupi, tidak perlu cemas terkait masalah sandang, pangan, dan papan.

Di samping itu, banyak dari kita sudah mulai jenuh dengan sistem belajar yang seperti itu. Sehari-hari hanya berkutat dengan google meet atau zoom. Pagi siang sore hanya menatap layar ponsel atau laptop. Keseharian hanya sebatas kuliah, tugas, dan presentasi. Terus saja begitu berulang-ulang. Lebih dari itu, mental kepemimpinan kita agaknya sangat berkurang, juga kemandirian kita rasanya perlu dipertanyakan.

Dalam hal ini, penulis merasakan perbedaan yang sangat signifikan antara pembelajaran yang berada di lingkungan kampus dan pembelajaran di rumah. Semasa berkutat di lingkungan kampus, ada rasa kekhawatiran  tersendiri, ketika mendapati pekerjaan yang belum diselesaikan. Entah itu memasak, mencuci atau hanya sekedar membersihkan kamar kost. Sangat berbeda Ketika berada di rumah, Dan hal itu mendorong secara tidak langsung bagi penulis untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Kekhawatiran lainnya yang tidak bisa dielakkan adalah kuliah daring membuat kita semakin malas. Kuliah hanya sebatas hadir di meet, dan materi pembelajaran tidak bisa kita tangkap secara maksimal. Mau sampai kapan seperti ini?

Akibat kejenuhan ini, sesekali terpikir oleh penulis, keinginan untuk kembali ke kehidupan normal sebelum covid. Kuliah secara tatap muka, tinggal jauh dari orang tua, bertemu dengan teman-teman sebaya, suasana belajar di kelas secara nyata, dan kebiasaan lama lainnya. Namun, Covid-19 masih menjadi momok menakutkan. Segala faktornya harus dipertimbangkan, demi kebaikan kita bersama.

Saat ini, banyak asumsi beredar di antara mahasiswa. Ada yang mengatakan perkuliahan akan diadakan secara online, pun sebaliknya, perkuliahan akan dilaksanakan secara offline. Ada pula yang mengatakan perkuliahan akan dilaksanakan secara hybrid (online-offline).

Memang hal ini perlu dipikirkan secara matang. Tapi jangan pula terkesan menggantung, dan membiarkan berbagai asumsi berseliweran. Mahasiswa dibiarkan menerka-nerka tanpa diberi kepastian.

Jikalau perkuliahan tetap dilaksanakan secara online, perbaiki sistem pembelajarannya. Buat platform pembelajaran yang praktis, dinamis, dan responsif. Tentukan capaian pembelajaran bagi mahasiswa, buat proyek sederhana yang mengasah keterampilan dan kemampuan bernalar yang baik. Sebab banyak orang tua yang menitipkan harapannya di pundak mahasiswa, demi kelangsungan hidup yang lebih baik nantinya.

Dan mungkin, jika perkuliahan dilaksanakan secara offline atau hybrid, bagaimana mekanismenya?

Tentu, dari kami mahasiswa tidak menginginkan keputusan itu kami terima dalam tenggat waktu yang sangat ‘mepet’. Mengingat ada banyak hal yang perlu dipersiapkan ketika kami kembali ke kampus asal.

Lebih dari itu, hal yang perlu dipikirkan adalah mengenai bagaimana caranya agar tidak menimbulkan kemunculan klaster varian virus baru ketika perkuliahan dilaksanakan secara offline. Tentunya, pihak Universitas sendiri harus siap, secara fasilitas kesehatan dan juga penerapan protokol kesehatannya.

Penulis : Indrawati Setya Nengse

Ilustrator : Ahmad Naylin Ni’am Asshobir


Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop