Penyakit Pengaturan Skor di Sepakbola Indonesia dan Kehadiran Satgas Anti Mafia Bola yang Sia-Sia


Sepak bola tanah air sepertinya tidak pernah bosan menciptakan dramanya sendiri. Bahkan jika hal ini dibuat sinetron, kemungkinan akan lebih membuat geleng-geleng kepala ketimbang berbagai sinetron milik Indosiar. Mulai dari prestasi timnasnya yang begitu-begitu saja (atau dibilang bobrok saja kali ya), kinerja wasit di pertandingan yang acap kali membikin penonton bingung lalu bertanya-tanya, serta kualitas siaran live pertandingan yang jelek, apalagi jika melihat kualitas replay-nya.  Beberapa permasalahan  tersebut mungkin masih sebagian saja, bahkan masih ada lagi permasalahan penting lain yang pada tahun 2018 kemarin sudah kelihatan hilang dari sepakbola Indonesia namun belakangan ini muncul kembali, apalagi kalau bukan pengaturan skor.

Skandal pengaturan skor di kancah persepakbolaan Indonesia mungkin bukanlah hal yang asing di telinga para penikmat sepak bola tanah air. Apalagi pada tahun 2018 di program acara Mata Najwa yang dibawakan oleh Mbak Najwa Shihab tersebut juga sempat membahas hal ini, bahkan sampai 5 kali episode. Dari kasus yang pertama kali terungkap, yakni pertandingan Persebaya Surabaya melawan Persipura Jayapura pada Februari 1998 silam, membuktikan bahwasannya pengaturan skor bukan lagi menjadi sebuah virus varian baru di sepakbola kita. Lalu bagaimana kinerja Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang merupakan induk organisasi sepakbola Indonesia dalam menyelesaikan hal ini?

Jika melihat pertandingan pembuka Liga 2 musim 2021 antara Persis Solo melawan PSG Pati-nya Atta Halilintar yang disiarkan secara live di televisi, sering tersorot kamera dua orang yang mengenakan rompi dengan tulisan “Satgas Anti Mafia Bola”dengan font berukuran ukuran cukup besar dan jelas dibelakangnya, lalu disusul pula dengan penjelasan dari komentator mengenai siapa dan apa fungsi keberadaan mereka hadir di dalam stadion. Dimulai dari pertandingan tersebut, pertandingan-pertandingan lain baik di Liga 2 maupun Liga 1 musim 2021 yang disiarkan di televisi pun juga demikian, Satgas Anti Mafia Bola kerap nampak terlihat keberadaannya di stadion sebab sering sekali tersorot oleh kamera.

Tentu saja timbul pertanyaan besar, apakah dengan menghadirkan Satgas Anti Mafia bola di dalam stadion tersebut sudah efektif untuk mencegah terjadinya skandal pengaturan skor di kompetisi liga? Menurut saya sendiri, itu jelas tidak efektif. Alasan saya berkata demikian bukan tanpa alasan, lha wong jika dilihat dari jalannya pertandingan saja masih banyak wasit yang sering mengambil keputusan kontroversial saat memimpin jalannya sebuah laga. Ambil saja contoh pertandingan Persela melawan Persiraja pada putaran pertama Liga 1. Bek Persiraja jelas-jelas tersorot kamera bertabrakan dengan rekan se timnya sendiri, namun Ivan Carlos yang merupakan striker Persela yang malah diberikan hadiah kartu kuning oleh pak wasit. Saat itu striker Persela tersebut kebetulan ada disebelah kedua pemain Persiraja yang bertabrakan, tetapi saat melihat tayangan replay yang kualitasnya jelek itu tidak terjadi kontak fisik sama sekali antara Ivan Carlos dan pemain Persiraja, aneh bukan?

Selain alasan tersebut, saya masih memiliki alasan lain bahwasannya adanya Satgas Anti Mafia Bola yang hadir mengawasi pertandingan di stadion ini tidak efektif sama sekali. Bahkan mungkin alasan saya satu ini lebih masuk akal dari alasan saya sebelumnya dan mungkin kawan-kawan penikmat sepakbola nasional juga setuju dengan saya, mungkin lho ya. Bagaimana tidak, di kompetisi Liga 2 musim 2021 lalu terungkap lagi adanya kasus pengaturan skor. Padahal, kompetisi yang hampir 2 musim mandek akibat pandemi ini baru dihelat kembali, namun kabar adanya pengaturan skor di kompetisi liga kembali terdengar setelah yang terakhir kalinya ramai diperbincangkan di acara Mata Najwa pada 4 tahun silam. 

Pertandingan yang mempertemukan Perserang kontra RANS Cilegon pada lanjutan liga 2 musim 2021 dengan skor akhir 1-2 untuk kemenangan RANS Cilegon, menjadi bukti nyata jika skandal penganturan skor masih merajalela di sepakbola negeri ini. Dan yang saya sayangkan adalah sebanyak 6 orang pemain Perserang dihukum oleh Komite Disiplin (Komdis) PSSI karena hal tersebut. Lalu bagaimana dengan orang-orang dibalik layar yang ‘mengatur’ pertandingan tersebut?

Menurut saya sama saja jika hanya menghukum pemain yang terlibat tanpa menindak orang yang benar-benar ‘bermain’ dibelakangnya. Padahal yang mempunyai peran vital dalam pengaturan skor ini bukanya orang-orang yang ada dibelakang layar? Dalam hal ini harusnya PSSI mencari tahu pula siapa orang-orang di belakang layar tersebut. 

Dari sini timbul pertanyaan, lalu apa fungsi Satgas Anti Mafia Bola yang dengan sangar tersorot kamera berdiri gagah di stadion? Apakah sekadar hanya untuk meyakinkan masyarakat penikmat bola saja bahwa mafia bola itu sudah tidak ada dan para mafia bola itu lebih luwes melakukan pekerjaannya? Atau bahkan hanya sekadar untuk menjadi ornamen penghias stadion yang sepi karena pada musim tersebut liga Indonesia melarang penonton seluruh klub hadir menonton langsung di stadion? Entah, saya juga tidak ingin terlalu berburuk sangka pada pejabat-pejabat di tubuh PSSI. Kesimpulannya disini ada atau tidak adanya Satgas tersebut di stadion, hasilnya tetap sama saja: kasus pengaturan skor masih terjadi.   

Menurut saya sih, bagus-bagus saja membentuk tim Satgas Anti Mafia Bola untuk mencegah adanya pengaturan skor agar tidak kembali terjadi. Namun apa gunanya jika Satgas tersebut malah gencar diekspos dengan menunjukkan identitas berupa pemberian rompi dengan tulisan yang jelas bahwa Satgas ini ada? Dan bahkan parahnya mereka sering sekali tersorot oleh kamera dipertandingan yang dipertontonkan secara live di televisi dan media streaming kepada khalayak umum. Hal tersebut bukannya membuat para mafia bola malah makin waspada pada Satgas ini dan merencanakan strategi yang baru yang lebih mutakhir? 

Padahal jika saya sendiri menonton liga-liga top Eropa yang sudah terkenal kualitasnya, tidak pernah saya menemui Satgas-Satgas seperti itu terlihat di stadion apalagi memakai rompi seragam. Atau tidak perlu jauh-jauh melihat ke Eropa, di negara-negara yang masih satu benua saja, seperti: Jepang, Korea, atau bahkan Thailand yang notabene peringkat Timnas sepakbolanya masih diatas Indonesia, federasi sepakbolanya tidak ada yang menerapkan hal aneh seperti yang dilakukan PSSI ini. Lantas sebenarnya PSSI ini berpatokan kepada siapa? 

Saran saya sebagai penikmat sepakbola Indonesia, jika memang PSSI ini ingin membentuk Satgas Anti Mafia Bola alangkah baiknya mereka cukup memberitahukan saja pada masyarakat melalui pernyataan resmi mereka atau media-media yang mereka miliki tanpa membuat rompi atau atribut lain yang menunjukkan identitas dan mengumbar kehadiran mereka di pertandingan-pertandingan kompetisi sepakbola nasional. Toh dengan begitu, Satgas ini menjadi lebih terprivasi keberadaanya dan lebih mudah untuk mengawasi jikalau ada oknum-oknum mencurigakan yang hadir di tengah pertandingan berlangsung.

Penulis : Ahmad Naylin Ni’am Asshobir

Ilustrator : Billy Lafi Aula

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop