MAY DAY : Aksi Penolakan UU Cipta Kerja di Masa Pandemi

Memperingati Hari Buruh Sedunia biasa disebut dengan May Day. Istilah May day dikenal hanya di dunia penerbangan, sedangkan May day diartikan sebagai hari memperingati Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 mei untuk mengenang pejuang para buruh yang sedang mengubah jam kerja dari 12 jam menjadi 8 jam kerja. Arti buruh menurut UU No 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 3 tentang ketenagakerjaan, buruh merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Untuk memperingati Hari Buruh pada tanggal 1 Mei 2021 ini, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) memutuskan untuk tetap menggelar aksi massa buruh ke jalan secara besar-besaran dengan mengikuti protokol kesehatan.

“Aksi May Day tahun ini akan tetap dilakukan secara menyeluruh di tingkat nasional dan daerah, serta wajib mengikuti standar protokol kesehatan demi mencegah penyebaran covid-19 yang selama ini cukup memprihatinkan dan kami akan mengikuti arahan dari Satgas covid-19 baik tingkat nasional maupun di daerah.” Ujar Ketua KSPI, Iqbal.

Bukan kasus covid saja yang memprihatinkan, tapi keluhan para buruh juga ikut memprihatinkan. Karena mereka tidak mendapatkan apa yang harus mereka dapatkan. Dalam aksinya perwakilan dari KSPSI pergi untuk  menyampaikan dan memberikan 9 petisi ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang berisikan permintaan agar MK membatalkan Omnibus Law UU No 11 Tahun 2020 mengenai UU Cipta Kerja khususnya di klaster ketenagakerjaan.

Dilansir dari Detikfinance.com

Berikut merupakan petisi yang akan disampaikan adalah 9 isu prioritas dari 69 pasal dalam UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 yang dianggap bermasalah dan diharap bisa segera dicabut.

Pertama, terkait pengaturan upah minimum. Dalam UUCK diatur: UMK bersyarat; UMSK dihapus; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat alternatif, yaitu inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Pengaturan yang demikian menunjukan tidak adanya perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh. Untuk mencapai tujuan bernegara dalam pengaturan upah minimum seharusnya ditetapkan; UMK tanpa syarat; UMSK tetap diberlakukan; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat kumulatif, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana setiap 5 tahun sekali dilakukan peninjauan ulang terhadap KHL.

Kedua, terkait pengaturan pesangon. Dalam UUCK diatur: nilai UP, UPMK, dan UPH ditetapkan standarnya; dan nilai UPH 15% dihilangkan. Semestinya, untuk mencapai tujuan bernegara, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh diwujudkan dengan membuat pengaturan: nilai UP, UPMK, dan UPH tidak ditetapkan sesuai ketentuan (nilai standar), melainkan bersifat paling rendah (nilai minimum) agar terbuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada buruh; dan nilai UPH 15% tidak dihilangkan.

Ketiga, terkait pengaturan outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja diatur: hanya ada satu jenis outsourcing, yaitu outsourcing pekerja yang bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, termasuk untuk kegiatan pokok (tidak hanya kegiatan penunjang). Perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sesuai tujuan bernegara hanya dapat dicapai apabila: outsourcing dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan saja yang terdiri dari outsourcing pekerjaan dan outsourcing pekerja yang dikhususkan untuk kegiatan penunjang. Apabila outsourcing dibenarkan untuk kegiatan pokok maka dapat terjadi seluruh atau sebagian besar pekerja di suatu perusahaan adalah pekerja outsourcing abadi yang ketika mengalami PHK dia tidak akan menerima pesangon dan jaminan sosial dari perusahaan tempatnya bekerja.

Keempat, terkait pengaturan karyawan kontrak (PKWT). Dalam UUCK diatur PKWT tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Aturan tersebut tidak sesuai dengan tujuan bernegara sebab dengan pengaturan itu buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT). Untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya diatur: dibuat pembatasan PKWT 3-7 periode kontrak dengan batas maksimal waktu kontrak 5-7 tahun yang diatur pada tingkat UU. Dengan begitu buruh memiliki kepastian hukum dan berpeluang menjadi karyawan tetap.

Kelima, terkait pengaturan tenaga kerja asing (TKA). Dalam UUCK diatur: TKA kategori buruh kasar (unskilled workers) diberi peluang secara luas untuk bekerja di Indonesia tanpa suatu izin dengan pengawasan terbatas. Ketentuan tersebut tidak menunjukan adanya perlindungan kepada pekerja WNI yang semestinya mendapatkan prioritas untuk mengisi posisi/pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu, sesuai dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh lokal diperlukan izin tertulis dari menteri sebagai bentuk pengawasan terhadap TKA yang bekerja di Indonesia.

Keenam, terkait pengaturan PHK. Dalam UUCK diatur: pekerja dapat di PHK secara sepihak oleh perusahaan tanpa harus menunggu penetapan pengadilan PHI dan dalam kondisi tersebut pengusaha dibenarkan untuk tidak membayar upah buruh, jaminan kesehatan, dan hak pekerja lainnya. Ketentuan tersebut tidak selaras dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja/buruh sehingga terhadap aturan PHK, pengusaha hanya dibenarkan melakukannya setelah ada penetapan dari pengadilan PHI dengan tetap memenuhi hak-hak buruh sebelum adanya putusan pengadilan PHI. PHK yang dilakukan tanpa mengikuti ketentuan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.

Ketujuh, terkait pengaturan pidana. Dalam UUCK diatur: pengusaha yang menggunakan TKA tanpa izin tertulis dari menteri terbebas dari sanksi pidana; dan tidak dibayarkannya UPMK dan UPH tidak disertai ancaman pidana. Demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh sesuai dengan tujuan bernegara sudah seharusnya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal menggunakan TKA tak berizin dan tidak membayar UPMK dan UPH kepada pekerja dikenai sanksi pidana.

Kedelapan, terkait pengaturan cuti dan istirahat. Dalam UUCK diatur: hak libur (1 hari) hanya diberikan kepada buruh yang bekerja selama 6 hari dalam seminggu; hak upah buruh tidak dibayarkan apabila buruh menggunakan cuti tahunan; dan tidak ada lagi hak istirahat/cuti panjang yang diberikan kepada buruh. Aturan-aturan tersebut sama sekali tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sebab selain yang bekerja 6 hari dalam seminggu, terdapat pula buruh yang bekerja selama 5 hari dalam seminggu sehingga terhadap mereka perlu pula dibuat pengaturan yang jelas dengan memberikan libur selama 2 hari; terhadap buruh yang menggunakan cuti tahunan harus pula tetap dibayarkan upahnya; dan hak cuti/ istirahat panjang buruh harus tetap diberikan.

Kesembilan, terkait pengaturan waktu kerja. Dalam UUCK diatur: waktu lembur buruh dapat diberikan kepada buruh sampai dengan 4 jam/hari dan 18 jam/minggu. Ketentuan tersebut mengakibatkan waktu kerja buruh menjadi lebih panjang dan mengurangi hak libur bekerja bagi buruh. Demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya waktu lembur ditentukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam/minggu.

 “ UU Cipta Kerja berpotensi menghilangkan kepastian kerja, kepastian pendapatan dan jaminan sosial bagi para buruh.”kata iqbal. KSPSI juga meminta untuk diberikan hukuman terhadap pelanggaran, serta diterapkannya upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Jika tidak diberlakukannya UMSK maka semua daerah akan mengikuti aturan upah minimum provinsi (UMP). Bayangkan jika suatu provinsi memiliki upah minimum lebih rendah dari sebelumnya, lantas bagaimana perasaan mereka kaum buruh yang memiliki banyak keluarga yang harus ia nafkahi. Jadi untuk para pejabat, hargailah usaha yang dilakukan oleh kaum buruh karena  Dibalik Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai buruh.

#Mayday

Penulis : Vavan

Mahasiswa Prodi Akuntansi 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop