Markesot Bertutur: Belajar Dari Sudut Pandang Markesot

Judul Buku : Markesot Bertutur

Penulis : Emha Ainun Najib

Penerbit : Mizan

Tebal Buku : 471 halaman

Cetakan : Edisi ke-3, cetakan ke-2, tahun 2015

Buku Markesot bertutur merupakan kumpulan esai yang di tulis oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) pada tahun 1989 hingga 1992 yang terbit di Harian Surabaya yang dibukukan oleh penerbit Mizan. Dengan Markesot sebagai tokoh utama yang digambarkan sebagai sosok yang multidimensional dan memiliki sudut pandang berbeda dengan orang kebanyakan seringkali dia ditunjuk sebagai penengah jika ada suatu permasalahan yang dihadapi oleh rekannya. Bersama rekan sejawatnya, yaitu Markembloh, Markasan, Markemon, dan lain-lain ia mendirikan Konsorsium Para Mbambung (KMB). Dalam KMB tersebut sering kali memperbincangkan berbagai problem masyarakat kita.

Buku ini terdiri dari delapan bab dengan tema yang berbeda. Karena tersusun dari esai, buku ini tidak memiliki alur cerita yang runtut sehingga tidak dapat diambil kesimpulan dari isi buku ini. Menurut penulis ada beberapa bab yang menarik perhatian. Pada bagian pertama  yang berjudul “Wajah Kekuasaan”, mengambarkan bagaimana sikap penguasa pada saat itu terhadap rakyatnya. Pada bab ini juga menggambarkan bagaimana masyarakat menafsirkan setiap titah yang disampaikan oleh penguasa.

Pada bagian keenam yang berjudul “Sikap Hidup” juga sangat menarik perhatian penulis. Pada bab tersebut di jelentreh-kan berbagai masalah sosial yang ada dalam masyarakat kelas bawah. Memang pada umumnya masyarakat kelas bawah seringkali dipandang remeh. Namun, jika melihat kisah hidup mereka serta caranya tabah dalam menjalani hidup, kita akan mendapat banyak pesan moral yang akan meningkatkan pada rasa syukur dan lebih memaknai kehidupan.

Pada bagian enam ini terdapat “Kemuliaan Si Penjual Kacang”, saat di satu sisi manusia mengenyangkan perutnya dengan memakan hak orang lain, masih ada manusia lain yang bersusah payah mencari penghidupan dengan cara yang halal. Pada bagian tersebut diceritakan saat si penjual kaacang yang mulai berjualan di malam hari saat orang lain mulai beristirahat. Ia lebih memilih berjualan kacang daripada menjadi rampok, bandit, ataupun nyolong ternak warga. Dari hal tersebut sangatlah patut menjadi pesan moral untuk memotivasi diri agar enggan mengambil hak orang lain demi kesenangan pribadi. Selain kedua bagian tersebut, masih terdapat bagian lain yang wajib dikulik pembaca untuk menambah keterbukaan wawasan kita sebagai manusia.

Gaya Kepenulisan Cak Nun pada buku ini sangatlah nyentrik dan luwes. Jauh dari kata formal dan terkadang bahasa yang digunakan bersifat ke-Jawatimur-an yang khas sedikit kasar menjadikan ciri khas sendiri yang justru dapat menjadi daya pikat bagi pembaca.

Meskipun buku ini telah cukup lama terbit, tapi relevansi antara kondisi sosial di masa itu dan kini masih terasa jelas. Penggusuran masyarakat demi proyek yang mengenyangkan kaum yang katanya kaya harta dan melaparkan kaum terpinggirkan acap kali masih terjadi di negeri ini. Mereka di bujuk, katanya pembangunan untuk kemajuan dan penataan menuju yang lebih baik. Lebih baik untuk siapa? Tidak hanya itu, isu-isu korupsi juga menjadi bagian dari buku ini, yang mana pada kondisi sekarang masih menjadi buah bibir betapa busuknya oknum penguasa yang duduk pada singgasananya. Terlalu klise memang.  Jika mengutip kata-kata Cak Nun, “ Tidak ada yang lebih siluman dari kenyataan-kenyataan di negeri ini” pembaca akan menilai sendiri apakah seburuk itu kenyatan di negeri ini dengan mulai membaca Markesot Bertutur. Pembaca dapat membaca buku ini dari bagian mana saja yang pembaca suka untuk menilai kalimat Cak Nun tersebut.

Penulis: Firda Ivana Amelia

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop