Karena Rupiah

gambar ini diambil dari http://id.wikihow.com

Oleh: Khoirul Lihayati

Cerpen – Angin sepoi malam yang semenjak tadi semerbak berpadu dengan senandung suara riuh jangkrik. Aroma dahan yang basah bekas hujan tadi sore, masih pekat tercium. membuat ku semakin jatuh dalam renungan. Semua episode yang telah kujalani muncul begitu saja dalam benakku, membuatku merasa semakin bosan menjalani hidup. Kupandangi dahan-dahan segar itu yang terlihat jelas walaupun dikegelapan malam, kenapa pikiranku tak sesegar mereka.

“Tyo!! Tidur……” suara lantang ayah yang sedang mengecek gerbang rumah mengagetkan, seakan membuatku ingin berpegang erat pada kedua sisi jendela yang memang tidak jauh dari tempat lamunanku.

Jam memang sudah menunjukkan 23:49 malam, tapi entah kenapa aku masih betah saja dengan ketidak jelasan semua masalah difikiranku.

***

“Kriiiing ,kriing,kriiiiing, kriiii…ing” Bell pertanda pulang yang sedari tadi kutunggu-tunggupun akhirnya berbunyi. Aku langsung tancap gas mengendarai motor metic 125cc ku menuju rumah. Semangatnya diriku karena besok hari libur, malam ini aku bisa tidur dengan puas tanpa harus memikirkan tugas yang berebutan meminta untuk dikerjakan lebih dulu.

“Hanya segini?, mana cukup buat nutupin kebutuhan sebulan???” saat sampai di rumah nada keras khas mamah melemahkan ku.

“Kamu itu ya tahunya marah-marah, hargai apa yang dikasih suami, jangan tahunya minta melulu”

“lhoh itukan kewajibanmu sebagai suami….”

“kamu kan juga kerja, kamu kemanain aja uangnya???”

Ah sudahlah, kutinggalkan mereka. Segalanya itu seperti makanan sehari-hari buatku, entah apa saja yang mereka perdebatkan. Yang jelas saat ini itu membuatku malas berada dirumah. Aku segera berganti pakaian dan pergi lagi, entah mau kemana, yang pasti saat ini masih belum mempunyai tujuan yang jelas. Biasanya aku betah dengan kicauan mereka, tinggal memasang headset dan memutar lagu sekencang-kencangnya. Tapi kini rasanya memang sangat membosan, setiap kali harus berpura-pura tak merngerti namun aku telah mengerti.

Kukendarai motor maticku dengan kecepatan hanya 40km/Jam. Pikiranku melayang, mendayu-dayu, mengapa aku tak seperti kakak perempuanku yang memilih pondok pesantren, sehingga tak tau dengan keadaan dirumah yang jelas ketidak tauan membuat pikiran tenang.

“Tyo….!!” suara yang tak asing lagi membuatku spontan menoleh kebelakang. tampak seorang anak laki-laki seusiaku melambaikan tangan diwarung seberang jalan, ternyata dia Ega teman sekelasku, aku segera menghampirinya.

“ada apa….. kamu ngapain disini???” tanyaku penasaran.

“baru makan tadi, kebetulan liat loe lewat ya udah gue panggil,abis kayaknye loe lagi bete’?” jawabnya dengan logat Betawinya. Maklum dia anak pindahan tahun lalu.

“nggak juga, malem minggu ya seneng donk gue..” aku coba menyangkalnya.

“emangnya lo mau kemana? ikut gue aja, cari hiburan… yang lain pada maen sendiri, gua kagak diajak” Ega menawarkan.

“kemana????”

“aaahhh ikut aja” paksanya.

Ku bonceng Ega menuju tempat yang dimintanya. Sambil berkendara aku menanyakan kemana motor yang biasa dia pakek ke sekolah, Menurutku dia termasuk cowok keren disekolah karena stylenya yang trendi dan motornyapun motor cowok bukan kayak punyaku, dan cewekpun dia tingal tunjuk tapi sekarang malah sering naik angkot atau nebeng temen-temen yang lain yang membuat pamornya turun.

“gua jual buat bayar kos-kosan dan biaya idup disini, katanya sih gue mau dikasih motor lagi sama bokap, asal gue tetep disini tapi uda 2 minggu motornya nggak ada nyatanya, uangpun seret banget…” keluhnya

Dia memang tinggal disini sendiri, karena ayahnya terikat bekerja dengan pemerintah sehingga orang tuanya sering pindah-pindah tempat tinggal. Saat kami sampai kesebuah lapangan. Banyak teman-temannya yang sudah menunggunya disana. Ternyata itu tempat lomba balap motor. Terang saja, aku menyukainya. Suara motor balap terdengar sangatlah keren bagiku. Namun aku sangat terkejut saat Ega membawa sebatang rokok dan menyalakannya. Karna yang kutau dia selama ini dia bukan perokok

“ini, mau lu…?” Ega nyodorin sebatang rokok kepadaku sambil menghisap rokok miliknya.

”gue nggak ngrokok” aku menolaknya

“alah dikit aja” dia meremehkanku, akhirnya pelan dan pasti akhirnya menerima tawaran rokok itu. Kalau di ingat-ingat ini memang pertama kalinya aku merokok, Ternyata rasanya tak seburuk apa yang dipikirkan orang-orang.

Walaupun aku sedikit merasa takut akan kesehatanku karena kakekku meninggal karena menjadi perokok dan ayahku pun tak pernah merokok. Namun jika sesekali saja kan tak apa, pikirku singkat.

Semanjak malam itu setiap pulang sekolah aku sering datang kesini untuk sekedar mencari hiburan dan mencoba motor-motor balab itu. Dan orang tua ku pun tak pernah tau karena mereka selalu percaya padaku.

***

“Kriiing…kriiiiiiiiing…… “

Bell 2 kali menandakan jam istirahat, langsung saja aku menuju kantin sekolah tanpa menunggu teman yang lain. Maklumlah perutku sudah sangat keroncongan. Dari semalam tidak makan, cacing diperutpun seperti berpesta dalam bayanganku. Kusegera pesan satu porsi nasi pecel dan es teh manis.

“Tyo, kamu dipanggil bu Devi kekantor tuh” tiba-tiba Rufi, teman sekelasku mengagetkanku saat aku mulai melahap sesuap nasi dengan rempeyek kacang tanah yang gurih.

Aku terdiam sejenak, melihat parasnya yang cantik jantung ini serasa berdebar kencang. Dia adalah gadis yang berhasil menghipnotisku, aku menyukainya sejak pertama kenal dikelas X dulu. Namun aku terlalu munafik untuk mengatakan perasaanku padanya dan dia juga telah memiliki pacar, namanya Roni teman Ega.

“ngapain???” tanyaku penasaran

“aku juga nggak taulah……” jawabnya singkat dan pergi duduk dikursi yang lain.

Entah apa yang ada dibenakku, banyak orang yang berkata dia adalah cewek judes dan matrek. Kebetulan juga namanya Rufi Anggleliesta Hermansyah dan dia sering menulis disemua alat sekolahnya dengan nama Rufi A.H. meski musuhnya sering menganggapnya mata duwitan dan memanggilnya dengan nama Rupiah, tapi bagiku memang dia Rupiah. Rupiah yang sangat dibutuhkan, dan nyatanya dia cantiknya subhanallah pokoknya. Rambutnya yang selalu terkuncir rapi membuatku selalu memperhatikannya. Jika hari senin ikat rambut warna merah melingkar di kumpulan rambutnya yang hitam ikal itu dengan rapinya. Kalau selasa dan rabu dia sering pakai warna merah muda atau putih, hari kamis warna biru dan hari jumat senada dengan sepatu yang dipakai karena dari hari senin sampai kamis harus memamakai sepatu hitam. Terlihat sekali kalau dia cewek yang sistematis. Jika tidak seperti itu maka dia dalam mood yang buruk. Dan hari ini dia memakai warna merah muda tepat dihari selasa . Aku hafal sekali tentangnya, wanita cantik tapi punya orang lain. Ahh… sudahlah….

Aku segera menghabiskan makananku dan bergegas menuju meja Bu Devi. Bu devi adalah wali kelasku di klas XI-IPA ini, perawakannya yang anggun, tinggi, berkulit putih namun tetap memiliki sisi kewibawaan yang tinggi, dia termasuk guru favoritku. Ditengah koridor sekolah menuju kantor, Aku berfikir apa kesalahan yang kubuat. Segala kemungkinan buruk terlintas dibenakku. Membuat rasa percaya diriku menciut.

“Selamat siang Bu, apa Ibu memanggil saya?”

“Tyo, silahkan duduk” sambil menghela nafas dan mempersilahkanku duduk yang membuatku semakin penasaran dan deg-degan.

“Ya bu”

“gini Tyo, ada 2 hal yang ingin ibu bicarakan denganmu, yang pertama ini masalah nilai-nilaimu yang banyak merosot, apa kamu tahu itu??”

“Ya bu saya tahu, maafkan saya” aku menunduk.

“apa kamu memiliki masalah?” tanya bu Devi dengan lembut padaku.

”Tidak Bu saya hanya sedikit malas belajar akhir-akhir ini, kalau begitu saya akan memperbaiki nilai saya bu” rasa kecewa pada diriku sendiri membuatku serasa lemas. Karena aku hafat betul bu Devi mengandalkanku terutama pada mata pelajarannya, Fisika.

“Baiklah ibu percaya padamu, dan hal yang kedua tentang administrasimu satu semester ini Tyo”

“Ya bu, saya terlambat membayarnya 2 bulan ini, saya akan berusaha melunasinya segera bu” jawabku, hati ini rasanya sesak, kesalahan apa lagi ini, batinku dalam hati.

Ah bejibaku lagi dengan yang namanya uang, seolah hidup mati karena uang.

***

Hari ini sepulang sekolah seperti biasa, aku pergi ketempat tongkrongan Ega. Sekedar menghilangkan rasa suntukku dengan semua masalah-masalah yang ada. Disini aku bebas merokok, tanpa harus takut dimarahi orang tuaku. Aku mencoba motor balab baru milik Ega yang baru dibelikan ayahnya minggu lalu. Namun saat diujung sebelah utara area balap aku melihat gadis yang nampakya aku mengenalnya. Aku mendekatinya,

“fi ngapain kamu disini ?” ternyata dia Rufi.

“nggak ngapa-ngapain” jawabnya kaku.

Aku hanya melihanya dan dia pun terlihat murung.

“Yo tolong anterin aku pulang sekarang” dia berkata sambil terisak-isak seperti habis menangis.

“lhoh, emangnya Roni kemana?”

“kamu bisa nggak nganterin aku” jawabnya dengan agak kesal dan memang judesnya keluar tapi tak apa itu yang membuatku semakin terpesona dengannya.

“oke, ayo…” aku menyetujui untuk mengantarnya pulang.

Ditengah perjalanan aku mencoba bertanya mengapa alasannya menangis, ternyata Roni, pacarnya Rufi telah berselingkuh. Tak dipungkiri hatiku merasa senang karena selain bisa membonceng Rufi, aku juga memiliki kesempatan mendekatinya.

“Hahay……” dalam diam dan menyetir motor, hatiku bersorak gembira, dan semoga ini memang jalan mendapatkannya.

***

Kubuka ponselku, jum’at, 6/9/2013 pukul 19:29, hati ini merasa sangat suntuk, walaupun sore tadi aku senang bisa bersama Rufi, namun rasanya hanya sejenak. dari 30 menit yang lalu rasanya mata ini enggan mengalihkan pandangan dari selembar kertas putih tugas fisikaku. Diotakku rasanya seperti ada bom yang tak tau kapan meledaknya. Aku mencoba berfikir keras bagaimana kata-kata yang pas untuk mengatakan pembayaran sekolahku yang belum terbayar. Walaupun pembayaran sekolah memang tanggugan kedua orang tuaku. Namun kalau dengan jumlah yang agak banyak membuatku malas memintanya, karena pasti membuat mereka ramai. Namun aku tetap beranikan diri dan bangkit dari meja belajar menuju ruang tengah

“ma, mama sibuk?” ku perhalus bicaraku sambil duduk dikursi.

“nggak, mamakan hanya nonton TV yo, kenapa?”

“itu ma, kan biaya sekolah Tyo yang bulan lalu dan sekalian bulan ini belum dibayar , tadi bu Devi udah ngasih peringatan, trus kapan ini bayarnya?”

“ya kamu minta uang Ayah aja” ucapnya sambil mengganti chanel televisi.

“lhoh uang gajian Ayahkan udah tak kasih mama semua bulan lalu?” sahut papa dari ruang kerjanya.

“tapikan itu tidak termasuk biaya sekolah Tyo pa” nada ngomong mama mulai tinggi

“tapi ayah belum punya uang lagi, gajian bulan ini belum cair, pakai uang mama dululah” suara Ayah yang ikut meninggi dan terdengar mengentengkan.

Perdebatan mereka semekin menjadi, hati ini rasanya hancur. Saat aku melihat ada gelas dimeja tanganku spontan mengambil dan membantingnya.

“tyaaaarrrr….” Gelas itu pun pecah membuat mama dan Ayah berhenti perdebat.

“Tyo!!” bentak Ayah.

Aku hanya sejenak memandang wajah mama dan bergegas keluar rumah. Aku nyalakan mesin meticku. Dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Hati yang kalut membuatku tidak sadar dengan apa yang sedang kujalani kini

“bruuuaak…..” tiba-tiba tubuh ini serasa melayang dan perlahan mataku menutup. Terakhir yang ku ingat hanya sorot lampu truk yang amat tajam.

***

Aku berdiri diantara bangunan putih semua warna yang kulihat adalah putih, hanya putih. Aku tak mengerti apa ini semua. Yang ku tau kaki ini hanya terus berjalan. Terlihat diujung sana ada sebuah sumber cahaya yang menyilaukan, aku mendekatinya. Ku melihat seorang wanita dipeluk seorang lelaki yang terus menangis disamping seseorang yang tidur diranjang, yang wajahnya sangat mirip denganku, dan ditubuhnya banyak kabel-kabel yang sangat mengganggu.

Romantisnya mereka, kulihat seorang wanita yang bersedih dan seorang lelaki yang setia mendampingi dan menenangkannya. Tiba-tiba mataku berpindah pandangan kekalender dimeja, disamping banyak obat-obatan sabtu, 30/09/2013. Aku berfikir apakah yang tidur diranjang itu memang aku????? Yah memang benar ternyata aku. Dan entah mengapa aku merasa begitu senang karena bisa melihat kedua orang tuaku akur, yang memang sudah lama tak kulihat suasana seperti ini.

Tak berapa lama aku sadar dari tidur panjangku. Ku belum mampu berkata dan banyak bergerak. Namun aku sangat bersyukur ketika dalam keadaan seperti ini kedua orang tuaku, benar-benar terlihat seperti orang tua yang sebenarnya. Tak hanya itu Rufi dan Ega selalu datang menjengukku.

Dalam bayanganku ketika aku sembuh nanti tak kan kulepaskan Rufi dan Ega karena dengan mereka aku mulai sadar bahwa hidup ini penuh warna. Walaupun terkadang melihat hidup orang lain lebih baik, Namun belum tentu sebaik hidupku kini.

Dan inilah aku yang baru Setyo Gumilang Adi.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop