Kaleidoskop Ekonomi 2020 dan Potret 2021

Tidak mudah menapaki tahun 2020. Aral hambatan menghadang di sepanjang jalan. Kita berjalan dengan terseok-seok akibat pandemi luar biasa menakutkan: Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau kita mengakrabinya dengan sebutan Korona. Pandemi tidak sering terjadi kecuali dengan perkiraan tenggang waktu abad. Dengan secercah optimisme yang kita bangun, berbagai sektor tidak bisa mengelak dari dampak multidimensional. Secara terpaksa, aktivitas manusia terhenti dan menuntut untuk mengurung diri di rumah. Oleh karena aktivitas manusia yang terhenti, resesi ekonomi adalah niscaya yang tidak bisa dihindarkan akibat aktivitas ekonomi yang mangkrak.

Setidaknya tercatat tiga gejolak ekonomi yang menggempur Indonesia sepanjang dua dekade. Pertama, krisis tahun 1998 yang bermula dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Pertumbuhan ekonomi turun terjal dalam kuantifikasi minus, inflasi menjulang tak terkendali, pasar saham terkapar, dunia perbankan bergelimpangan, angka pengangguran dan kemiskinan tinggi. Ekonomi serba tak terarah. Sungguh pun begitu, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi harapan dan tumpuan.

Kedua, dalam waktu yang tidak lama dan dalam tahap pemulihan ekonomi, pada tahun 2008 ekonomi Indonesia kembali mengalami guncangan sekalipun intensifikasinya lebih ringan. Ekonomi suram karena Amerika Serikat dihantam oleh subrime mortage yang berakibat pada kelesuan ekonomi. Inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi meradang, dan defisit fiskal membengkak.

Ketiga, krisis kesehatan yang menimbulkan krisis ekonomi yang sekarang terjadi karena pandemi yang memaksa manusia untuk membatasi interaksi dan meredam penyebaran virus. Ekonomi tampak gelap. Tidak ada sektor yang bisa diandalkan dan menjadi harapan kecuali dengan meminimalkan angka terkontaminasi Covid-19.

Terlihat jelas kalimat yang disampaikan oleh Gregory Mankiw dari Universitas Harvard dalam wawancara dengan Michael Klein dari Universitas Tufts: “inilah resesi ekonomi yang kita rancang sendiri”. Memikirkan kalimat itu dengan komprehensif dalam situasi mecekam ini, Gregory Mankiw benar. Untuk mengatasi resesi atau bahkan krisis ekonomi yang dipicu oleh pandemi, secara sadar kita memaksa diri sendiri dan bahkan manusia lain untuk berkurung diri di rumah. Dengan argumentasi tersebut, inilah resesi dan krisis ekonomi yang kita rancang sendiri. Sungguh pun begitu, hal demikian memang harus dilakukan untuk menekan laju persebaran.

Sebelum ada pandemi, kita hendak menyongsong hari baru karena prospek ekonomi 2020 diproyeksikan lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diyakini meleibihi angka 5 persen. Namun jauh panggang dari api, sejak kabar buruk dari Kota Wuhan di Negara Cina ditambah diumumkan warga Indonesia terapapar pada Maret 2020, harapan yang disemogakan lenyap. Sektor-sektor ekonomi berjalan terseok-seok.

Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2020 amat mengernyitkan dahi yang sebesar 2,97 persen. Berbeda jauh jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 yang sebesar 5,02 persen sekalipun karena perlambatan ekonomi global akibat ketegangan antara Amerka Serikat dengan China. Padahal, pada kuartal pertama, guncangan yang diakibatkan tidak terlalu bersentuhan langsung tetapi sangat berdampak.

Pada kuartal kedua, pertumbuhan ekonomi turun terjal minus 5,32 persen. Dengannya, angka pengangguran naik dan berimpilkasi pada kenaikan angka kemiskinan. Selang beberapa bulan seiring dengan kenaikan angka penyebaran, melalui Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia dinyatakan resesi ekonomi setelah sebelumnya negara-negara lain resesi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga masih terkontraksi dengan minus 3,49 persen. Dengan demikian, terdapat perbaikan yang cukup berarti selama satu kuartal.

Sebagai institusi yang berkewajiban dalam mengurusi hajat hidup publik, pemerintah menlucurkan sejumlah stimulus. Tak banyak yang biasa dicatat stimulus ekonomi selain dua hal: pertama, dikonsentrasikan pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan sektor riil. Daya beli masyarakat melalui bantuan sosial, insentif usaha, operasi perbankan, dan penguatan basis produksi.

Kedua, sekitar hampir 700 triliun dalam skema menangani pandemi, hanya sekitar 172 triliun yang benar-benar difokuskan untuk daya beli masyarakat dalam wujud dukungan konsumsi. Sungguh pun begitu, program-program yang diluncurkan adalah program yang setiap tahun dikeluarkan. Di luar itu, program yang dirancang lebih banyak memfasilitasi sisi produksi. Asumsi dasar yang menjadi masalah jika produksi berjalan sementara tetapi daya beli atau konsumsi masyarakat melemah maka ongkos yang dikeluarkan akan berakhir dengan sia-sia. Stimulus ekonomi yang begitu besar tidak serta merta tersedia. Rasio defisit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) membengkak karena dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 membolehkan defisit anggaran lebih dari 3 persen.

Di tengah kemurungan yang menimpa, ada secercah harapan sebagai jalan pemulihan ekonomi 2021 yang akan terjadi dikarenakan adanya vaksin. Pertanyaan yang patut untuk diajukan: seberapa cepat terjadi dan apakah pemulihan akan membawa kita pada struktur ekonomi yang lebih baik? Hal tersebut bergantung pada kemampuan kita dalam mengatasi pandemi. Tanpa itu, kita akan terus berkutat dengan resesi ekonomi yang kita rancang sendiri. Penanganan kesehatan adalah kunci. Kita mengamini harapan-harapan yang dilangitkan.

Oleh : Imron Rosyadi

Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop