Gelar Sarjana dan Ucapan-Ucapan “Berlebihan” yang Menyertainya

Tulisan ini hanyalah salah satu upaya untuk menjaga kewarasan saat berdiam diri di rumah tanpa melakukan suatu apapun, untuk itu mohon dimaklumi jika di dalamnya terdapat hal-hal yang menurut Njenengan  kurang waras.

Ada atau tidak adanya pandemi corona, kampus-kampus diseluruh dunia tetap meluluskan mahasiswanya yang sudah memenuhi persyaratan untuk lulus, meskipun proses kelulusannya tidak sama seperti sebelumnya. Namun tidak adanya sidang skripsi tatap muka dan wisuda yang tidak dapat dilaksanakan secara luring, tidak menghalangi seseorang untuk memberikan ucapan-ucapan selamat bagi mereka yang telah menyelesaikan masa pendidikan di kampusnya. Postingan foto seorang sarjana “baru” disertai ucapan selamat bagi yang bersangkutan begitu banyak berseliweran. Hanya saja ada yang membuat saya sedikit garuk-garuk kepala saat membaca beberapa ucapan selamat yang bagi saya sedikit “berlebihan”.

Yang paling membuat kepala saya gatal adalah ucapan “selamat menjadi masyarakat kembali”. Pertanyaannya adalah, apakah betul jika seseorang yang menempuh pendidikan tinggi itu status masyarakatnya diganti dengan status mahasiswa? Sejak kapan ada kesepakatan seperti itu sodara-sodara?.

Saya yang merupakan masyarakat biasa dan dari keluarga dan lingkungan yang juga biasa-biasa saja yang kebetulan mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi dan menjadi mahasiswa kemudian berpikir sambil sekali lagi meggaruk kepala saya yang gatal, apakah iya seorang mahasiswa se “Mulia” itu?.

Seringkali kita terlalu Losss dalam memposisikan diri kita, banyak kemudian saya lihat seorang mahasiswa terlalu meninggikan status keMahasiswaannya. Memang betul ada yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa merupakan kaum elit intelektual, namun tidak benar jika posisi kita ada diatas masyarakat yang bukan mahasiswa. Terkadang seorang mahasiswa terlalu “Sok” dalam berpikir dan bertindak. Merasa jadi wakil masyarakat, merasa harus meringankan beban masyarakat dan lain sebagainya.

Bagi saya adalah salah ketika harus menjadi mahasiswa dulu baru kemudian jadi wakil masyarakat dan bertanggung jawab untuk meringankan beban masyarakat, banyak sekali yang lupa untuk mengintrospeksi diri sendiri, jangan-jangan kita sebagai mahasiswa justru jadi beban bagi masyarakat. Mari kita analogikan dengan sederhana, orang tua kita di rumah atau siapapun yang bertanggung jawab atas biaya hidup kita, saya yakin mereka adalah masyarakat. Lalu mereka harus memenuhi kebutuhan kita selama masa kuliah entah berapapun pada setiap semesternya, terlepas mereka lakukan itu dengan ikhlas dan sepenuh hati atau tidak, tetap saja kita menjadi beban.

Kita terlalu sibuk teriak “membela rakyat” sedangkan orang-orang dilingkungan terdekat kita terlupakan. Saya jadi teringat apa yang dikatakan oleh Mbah Emha Ainun Najib “jadi selama ini kamu kuliah dibiayai oleh Mbokmu yang melarat itu? Jadi selama ini kamu mahasiswa, agen perubahan sosial, calon pemimpin bangsa, golongan elit intelektual, mengemis uang kuliah dari seorang rakyat kecil tua, perempuan tidak berpendidikan, he?”.

Banyak mahasiswa yang terlalu tinggi menempatkan posisinya sebagai mahasiswa, terlalu sibuk berdiskusi tentang hal-hal yang utopis hingga lupa bahwa banyak hal-hal sederhana yang perlu dipikirkan, banyak mahasiswa yang merasa ahli berbicara demokrasi, emansipasi, korupi, kolusi dan si si lainnya. Mereka berbicara terlalu tinggi kemudian menganggap masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan menempuh pendidikan tinggi adalah sekumpulan orang-orang pemalas, bodoh dan naif.

Mereka tidak sadar bahwa seorang bapak yang banting tulang mencari uang adalah rakyat biasa yang tidak berpendidikan namun bisa membuat anaknya meraih pendidikan yang tinggi. Mahasiswa seringkali terlalu sombong dengan menganggap orang tuanya yang tidak sekolah adalah bodoh. Mereka lupa bahwa dibalik bangku kuliahnya ada tukang ojek, tukang becak dan kuli panggul di pasar yang menunjang biaya pendidikan mereka.

Kembali lagi saya teringat ucapan Mbah Sujiwo Tejo “ijazah adalah bukti kalian pernah sekolah, bukan bukti kalian pernah belajar” bagi saya ucapan itu sangat relevan. Munafik jika ada yang mengatakan kuliah hanya untuk mencari ilmu. Sudah jelas bahwa mahasiswa kuliah untuk mendapat ijazah yang kemudian digunakan sebagai syarat melamar kerja, cari duit, jika ada kesempatan bahagiakan orang tua alhamdulillah, wes itu adalah alasan paling masuk akal. Untuk urusan cari ilmu, kita jadi kuli untuk meringankan beban orang tua adalah mencari ilmu, cangkruan di warung kopi adalah mencari ilmu, bercengkrama dengan tukang becak adalah mencari ilmu. Ilmu bukan hanya ada di gedung kampus.

Bagi saya saat ini banyak mahasiswa yang sering terbalik dalam konsep ilmu dan akademik. Mereka yang dengan lantang mengatakan “saya kuliah untuk mencari ilmu” tapi ternyata sibuk dengan urusan akademik, galau jika nilainya E, sakit hati jika skripsi dicoret dan telat lulus. Saking sibuknya mengejar predikat terbaik hingga lupa untuk mencari ilmu kehidupan, bagaimana caranya hidup, bagaimana cara menghadapi orang lain, bagaimana cara bersosialisasi, bagaimana menghargai orang lain dan memanusiakan manusia lain.

Seseorang dianggap berilmu jika bermanfaat bagi orang lain, kehadirannya di lingkungan tempat dia tinggal sangat berguna atau setidaknya tidak membuat masalah, bijaksana dalam bertindak dan berpikir. Jika di kampus sibuk dengan urusan akademik masak iya pantas mengatakan agen perubahan sosial dan wakil masyarakat sedangkan ilmu tentang masyarakat dan berbicara dengan orang lain saja tidak tahu.

Akhirnya, saya sedikit lebih waras dengan menulis ini. Semoga Njenengan semua juga tetap waras.

Oleh: Syahroni

Mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Trunojoyo Madura

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop