Mari Bermain Agama

Oleh: Joss

Seperti yang kita semua tahu 2019 merupakan tahun politik dimana kita bisa menggelar tikar untuk menyaksikan pertunjukan maha dahsyat yang ditampilkan oleh para elit politik dalam Negeri. Dalam pertunjukan ini kita akan disuguhkan pertandingan yang merupakan kelanjutan dari season sebelumnya yaitu antara Jokowi selaku juara bertahan vs Prabowo dari pihak penantang. Akankah Prabowo mampu mengalahkan juara bertahan atau justru Jokowi yang sekali lagi menjadikan Prabowo pecundang? Kita simak saja pertandingannya, drama dan intrik pasti akan mewarnai jalannya pertandingan, secara otomatis penonton akan Dejavu karena memang keduanya adalah pemain lama hanya formasinya saja yang berbeda. Dikalangan politikus sangat akrab dengan istilah “Politik itu dinamis, sekarang kawan bisa jadi besok lawan”, manuver politik memang tidak bisa ditebak apalagi oleh orang-orang awam dan dlahom seperti kita ini, sudahlah kita nikmati saja pertunjukannya karena ADEGAN DIATAS DILAKUKAN OLEH PROFESIONAL, jangan sekali-kali kita menirunya, bahaya.

Dalam setiap pertandingan, taktik dan strategi merupakan hal yang sangat dibutuhkan bahkan untuk pertandingan fisik seperti tinju dan gulat, apalagi dalam pertandingan politik kekuatan fisik tidak terlalu dibutuhkan atau malah tidak dibutuhkan sama sekali, lah wong Jenderal saja bisa kalah sama tukang kayu kok. Ini membuktikan dalam kontestasi perpolitikan yang otaknya encer dia yang menang, selain itu tim yang solid akan berpengaruh pada hasil akhir pertandingan. Di pertandingan yang akan kita saksikan ini memang tampak dua orang yang begitu sengit berlaga, namun dibalik itu ada tim pendukung yang tak kalah sengitnya dalam upaya memenangkan pertandingan, mereka saling jegal, menjatuhkan, sleding, tackle, uppercut, jurus-jurus andalan dan yang paling mematikan dikeluarkan. Namun yang membuat pertandingan ini lebih menarik lagi adalah ketika mereka menggunakan jurus yang sama dengan senjata yang sama pula.

Jurus andalan mereka adalah Agama dan Media sebagai senjatanya, mereka jual beli serangan dengan menggoreng isu agama yang disebar luaskan melalui media untuk mempengaruhi para pemirsa, karena pemenang dalam laga ini bukan siapa yang terkuat melainkan siapa yang paling mampu mempengaruhi. Jokowi sebagai pihak juara bertahan tentu wajar jika pihaknya mendapat serangan duluan, bahkan sebelum genderang perang dibunyikan serangan sudah mulai datang. Mulai dari isu PKI, tidak pro ulama, sampai dicap kafir karena membela orang yang menista kitab Al-Quran yang kemudian menimbulkan drama 212 yang berjili-jilid. Tapi dengan ketangkasannya dia dan timnya mampu menangkis bahkan memberi serangaan balasan. Maka dikumpukanlan ulama-ulama se-Indonesia di Istana sebagai taming untuk menangkis serangan isu sekaligus menegaskan bahwa dirinya ramah terhadap ulama dan penganut ajaran islam yang taat. Setelah itu barulah pihaknya membuat serangan balasan dengan menjadikan KH. Ma’ruf Amin sebagai wakilnya yang kemudian membuat pihak lawan kebakaran jenggot, seakan serangan-serangan yang selama ini dihujamkan ke pihak Jokowi malah sekarang berbalik arah dan jika tidak cermat mengatasinya bisa jadi senjata makan tuan.

Sementara dari pihak penantang kita melihat agama tetap mereka jadikan andalan, pihak Prabowo berusaha menggiring opini masyarakat bahwa dirinya adalah pemimpin yang pantas untuk mengibarkan panji-panji islam, salah satu upaya nya adalah yang dilakukan oleh salah satu tim pengusungnya yang membagi partai dengan dua golongan, yaitu partai Allah dan partai setan. Sontak pernyataan yang keluar dari mulut salah satu petinggi parpol dan politisi senior ini menuai banyak kecaman, selain tidak pada tempatnya membuat perbandingan seperti itu, juga kenapa harus partai yang mengusung prabowo yang digolongkan partai Allah. Yang menjadi pertanyaan apa saja indikator yang digunakan untuk bisa disebut partai Allah itu?. Masih tentang Agama, pihak pendukung Prabowo bahkan mengadakan ijtima’ ulama untuk menentukan siapa yang akan mendampinginya nanti, meskipun pada akhirnya keputusan dari ijtima’ ulama ini tidak digunakan oleh Prabowo, kabarnya isi dalam kardus yang menghalanginya. Namun timbul lagi pertanyaan, siapa saja ulama yang ada dalam ijtima’ tersebut, benarkah mereka ulama, sebegitu pentingkah sampai-sampai ijtima’ ulama yang biasanya untuk menentukan hukum-hukum dalam islam sekarang digunakan untuk menentukan pilihan politik? Padahal seorang ulama yang sangat dihormati dan disegani adalah yang tidak ikut campur dalam urusan politik. Memang dalam syariat tidak ada larangan dalam berpolitik, namun anggapan sebagian besar masyarakat bahwa politik itu kotor membuat mereka mempunyai penilaian tersendiri terhadap ulama yang terjun dalam urusan politik.

Mengenai sikap skeptis masyarakat terhadap ulama yang berkecimpung dalam dunia politik yang membuat kredibilitas dari ke-ulama-annya diragukan diperkuat dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merilis hasil survei terbarunya yang menunjukan ada penurunan elektabilitas dari Jokowi setelah dirinya resmi berpasangan dengan KH. Ma’ruf Amin, meski hasil survei dari lembaga manapun tidak bisa dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, namun ini cukup mengindikasikan bahwa ada sebagian masyarakat yang berharap agar ulama tidak terlalu sibuk dengan urusan politik.

Di tahun politik agama dijadikan komoditas dan lahan basah untuk mendulang suara, agama dalam hal ini adalah Islam. Demografi masyarakat Indonesia yang mayoritas islam membuat siapa saja yang ingin menjadi pemimpin harus mampu mengambil hati umat islam. Berbagai cara pendekatan dilakukan salah satunya dengan mendekati tokoh-tokoh islam yang dijadikan panutan, pendekatan-pendekatan seperti ini sudah dilakukan oleh kedua kubu yang akan bertarung di pilpres 2019 mendatang. Semakin mendekati pemilihan, sampai saat ini belum ada salah satu diantara kedua kubu yang melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh yang non-islam, seakan agama lain selain islam dijadikan sampingan. Mungkin saja mereka takut jika melakukan pendekatan terhadap tokoh non-islam akan memberikan peluamg bagi lawan untuk mengatakan bahwa dirinya pro terhadap kafir, dan otomatis suara umat islam yang merupakan suara mayoritas bisa hilang begitu saja. Jika demikian yang mereka lakukan, asas keberagaman tidak lagi dikedepankan.

Seperti yang dikatakan orang bijak. Siapapun presidennya kita tidak bisa menuntut dia untuk jadi sempurna, tidak ada presiden yang sepenuhnya baik juga tidak ada yang sepenuhnya buruk. Hanya saja kita harus memilih siapa yang paling banyak kebaikannya dan paling sedikit keburukannya.

Katanya lagi. Hidup adalah pilihan, bahkan memilih untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop