Jika Rindu Ibarat Hujan, Maafkan Aku yang Lupa Berteduh

 

Oleh:  Bayu Andriawan

Pendidikan Informatika

 

 Apa definisi rumah menurutmu?, tanah persegi dengan bangunan kokoh tegak berdiri, diselingi dengan kebun mini dan air mancur kecil ditengah, dibentengi dengan pagar teralis berduri diujungnya?. Untuk sebagian mungkin akan menjawab hal yang sama, tak terkecuali aku, dulunya, atau setidaknya beberapa waktu yang lalu.

Namaku Danu, manusia sederhana yang terlahir dari keluarga yang juga sederhana di pinggiran kota Jogja. Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa aku akan melanjutkan studi di luar negeri, apalagi jika mengaca pada kondisi keluarga. Tapi nyatanya Tuhan selalu punya hal menakjubkan untuk hambanya.

Munich, mendung tipis menutupi seluruh langit kota Gamelan di Eropa sore ini. Seolah menahan setiap manusianya untuk sekedar berjalan-jalan ke taman. Ditambah sekarang hari Minggu, hari yang tabu untuk masyarakat Jerman beraktivitas di luar rumah. Jalan-jalan pun semakin sepi, mendung semakin gelap disusul dengan titik-titik air yang mulai berjatuhan. Bayangan air dari luar jendela jelas tercetak di atas buku-buku pemrograman lanjutan yang terkulai lemas di atas meja.

Harusnya aku belajar untuk ujian besok, tapi entah kenapa pikiran enggan untuk fokus. Sejenak kualihkan pandanganku ke luar apartemen, terlihat orang-orang berlarian guna menghindari hujan yang mulai lebat. Aku tersenyum kecil, perlahan pikiranku melayang, jauh.

Anganku mendadak membayangkan rumah. Rumahku yang sudah setahun ini nihil nampak di mata. Kadang aku berpikir, apakah hujan di sini sama dengan di rumah?. Untuk beberapa saat pertanyaan seperti itu bukan menjadi masalah. Hingga akhirnya aku sadar, tentu saja berbeda. Berapa kali pun aku menoleh ke luar, tidak kutemui anak-anak kecil berlarian sambil memainkan bola plastik di tengah derasnya hujan, ojek payung yang berlari-lari kecil menawarkan jasa, atau sekedar uap panas kopi dan asap pekat kretek dari warung-warung di pinggir jalan. Sejauh mata memandang hanya gedung, jalan, dan beberapa kendaraan yang terparkir rapi.

Geliat manusia hanya terlihat sebatas berjalan kecil sambil memakai payung dan menenteng beberapa tas berisi barang belanjaan. Atau beberapa ada yang berdiri di halte bus dengan pandangan menerawang jauh sambil sesekali melirik arloji di tangan mereka. Ada satu kesamaan yang jelas dari mereka, wajah muram dan pandangan menggerutu pada hujan. Seolah-olah berkata “Ah, kenapa harus hujan, bukan ini yang kuharapkan saat akhir pekan”. sambil harap-harap cemas takut kehilangan sepersekian detik waktu mereka yang berharga.

Rumah adalah tempat dimana kau bisa menjadi diri sendiri. Tidak ada ukuran baku dan batasan dalam menentukan kebahagiaanmu. “Sepertinya hujan di kampung lebih indah ya”, gumamku. Disana tidak akan ditemui wajah-wajah muram itu. Disana hampir tidak ada orang yang menggerutu karena hujan turun, tidak ada kecuali beberapa ibu rumah tangga yang cemas akan nasib jemurannya, atau karena naluri bahwa anaknya akan pulang terlambat dan sampai di rumah dalam kondisi basah kuyup dan berlumpur. Hari semakin gelap, sepertinya hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Tiba-tiba aku membayangkan berada di rumah. Duduk di atas bale bambu usang bersama bapak dan ibu, dengan segelas kopi, pisang goreng, dan rokok kretek yang asapnya memenuhi teras. Diterangi bohlam 20 watt yang kadang meredup karena voltase yang sering turun. Sesaat kemudian ibu masuk kedalam. Meninggalkan kami berdua dan tak lupa menanasehati agar jangan begadang terlalu malam, masuk angin katanya dan kami balas dengan anggukan dan senyuman. Sejurus  kemudian bapak bersuara.

Wejangan yang sering disampaikan dari sejak aku masih kecil. “Nak, dimanapun kau berada, baik sekarang maupun nanti, tetaplah jadi orang yang pandai bersyukur. Jadilah orang jujur yang tetap menghargai sesama dan tidak lupa darimana kamu berasal”. Kalimat singkat penuh makna yang masih aku pegang hingga saat ini. Menjadi orang baik sudah seperti peraturan tidak tertulis yang ditaati semua orang, hanya definisinya saja yang berbeda. Tidak akan sulit menemukan orang-orang baik di tempat ini. Orang-orang yang bisa membuat leher kram dan pipi ngilu karena terus menerus menunduk dan tersenyum sembari saling menyapa.

Tapi saat ini aku sedang tidak berada di sana. Aku disini, terbelenggu dengan tembok-tembok beton yang menjulang, terbelenggu dengan kertas-kertas yang menuntut untuk selalu berpikiran logis, dan yang paling parah adalah berada di tengah kerumunan manusia yang ambisius dan seringkali acuh dengan sekitar.

Hujan semakin deras, kuputuskan untuk menghentikan lamunan ini. Toh 2 minggu lagi aku juga akan kesana, batinku sambil melirik selembar tiket online yang tercetak di layar komputer. Tiket penerbangan kelas ekonomi yang kubeli dengan menyisihkan uang saku sejak tiga bulan lalu. Sebuah jalan untukku melihat kembali semua kebahagiaan itu secara nyata.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop