Bersenggama Dengan Ramadhan

Oleh: Syahroni 

Ramadhan penuh berkah dan ampunan. Bagi umat manusia yang beragama Islam tentu akan merasakan sesuatu yang berbeda saat bulan suci ini tiba, selain karena menjalani ibadah puasa tentu ada hal-hal lain yang membuat beda. Mulai dari suasananya maupun kebiasaan setiap harinya yang kita jalankan dibulan ini juga akan berbeda. Dibulan ini kumandang adzan maghrib akan lebih merdu dari biasanya dan sangat dinanti kehadirannya.

Suka cita menyambut bulan ramadhan terlihat dimana-mana. Masjid dan musholla mulai dibersihkan, iklan sirup mulai bertebaran, pamflet dan baliho berisi ucapan Marhaban ya Ramadhan sangat mudah kita temukan. Kaum muslimin seperti sangat menunggu datangnya bulan ini, dan kedatangannya disambut dengan begitu hangat sebagaimana seorang yang menyambut tamu yang begitu terhormat. Kita tentu tidak tahu apakah benar mereka bersuka cita menyambut datangnya ramadhan, sedangkan pada kenyataannya banyak yang berharap keputusan sidang isbat puasa diselenggarakan selambat-lambatnya dan lebaran secepat-cepatnya.

Bagi mereka yang bersuka cita dengan datangnya ramadhan tentu keberkahan akan selalu menyertainya, itu sudah janji yang empunya dunia dan isinya. Namun perlu digaris bawahi, bahwa sebenarnya ada orang yang bahagia dengan datangnya ramadhan karena kesucian bulannya. Namun ada juga yang bahagia dengan datangnya ramadhan karena rezeki yang dibawanya. Mereka yang bahagia karena kesucian bulan ramadhan akan melipatgandakan ibadahnya, ngajinya ditambah, sholatnya ditambah, setiap hari tempatnya di masjid untuk tidur. Eh, maksudnya untuk menunggu waktu sholat yang kadang malah tertidur. Ada juga yang dengan getolnya bertaubat dan memohon ampunan karena dibulan yang penuh berkah ini doa lebih mudah dijabah dan setan-setan yang biasanya menggoda orang untuk ibadah sedang libur dari kerjanya maka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memohon ampunan mumpung tidak ada rintangan, itu bagi yang sadar. Bagi mereka yang bahagia karena rezeki yang dibawa oleh bulan suci ini akan melipatgandakan usahanya, yang jual pakaian menambah volume produksinya karena bertambahnya permintaan, yang jual makanan lebih banyak meraup keuntungan karena larisnya dagangan. Nah, bagi mereka yang bahagia karena bertambahnya rezeki ini yang sering berharap ramadhan berlangsung selamanya sepanjang tahun.

Berkah ramadhan tentu juga sangat dirasakan oleh mereka yang tergolong dalam golongan masyarakat fakir, termasuk didalamnya adalah mahasiswa. Ada yang tidak terima mahasiswa disebut fakir? Mari saya paparkan alasan saya kenapa menyebut mahasiswa dalam golongan fakir.

Orang fakir akan sangat senang jika banyak orang lain berderma kepadanya, apakah mahasiswa tidak keranjingan jika ada yang memberikannya makanan gratis? Bukannya sudah terbukti setiap bulan ramadhan, menjelang maghrib di masjid-masjid sudah dipenuhi oleh kaum mahasiswa (terutama yang laki-laki) yang menunggu dibagikannya takjil, syukur-syukur ada nasi bungkus dan nasi kotak, bahkan sebagian dari mereka sudah siap-siap dandan rapi dari kos masing-masing dengan dalih ngabuburit eh ujung-ujungnya malah masuk masjid, duduk rapi menunggu takjil dibagikan, setelah mendapat bagian mereka tepuk tangan kegirangan lalu pulang duluan berharap masih kebagian jatah di masjid sebelahnya. Bagi saya itu bukan sesuatu yang nakal, itu adalah bagian dari strategi bertahan hidup dan mohon maaf jika ada sebagian mahasiswa yang tersinggung karena tidak semuanya seperti itu dan memang hanya sebagian yang seperti itu, tapi hampir kebanyakan. Saya salah satu pelakunya.

Berkah lainnya yang dirasakan mahasiswa (terutama yang laki-laki) adalah ketika sholat taraweh di masjid kampus, tak peduli sholatnya itu cepat atau lelet yang penting ada bonusnya. Apa bonusnya? Bonusnya adalah ketika melihat gadis-gadis memakai mukenah saat sholat berjemaah, ditambah lagi mukenah dengan motif bunga-bunga yang sangat menggemaskan. Entah kenapa gadis-gadis ini terlihat lebih menarik saat memakai mukenah dan itu menjadi daya tarik bagi kaum laki-laki sialan untuk sholat taraweh. Kenapa harus di masjid kampus bukannya mencari masjid diluar yang sholatnya lebih cepat? Bisa saja kita pergi ke masjid diluar yang sholatnya lebih cepat, tapi percayalah disana isinya kebanyakan ibu-ibu yang menyamar menggunakan mukenah dengan motif bunga, tentu beda dengan di masjid kampus yang hampir bisa dipastikan isinya adalah gadis-gadis yang indah. Dan kembali lagi tidak semua mahasiswa seperti itu tapi sebagian besar berharap seperti itu. Dan saya salah satu pelakunya.

Di dalam bulan ramadhan kaum muslimin diwajibkan untuk berpuasa dan membelenggu hawa nasfsunya sendiri. Hal-hal kecil yang bersifat positif dihitung sebagai ibadah dan ganjarannya berlipat ganda sehingga bulan ini terasa lebih spesial dari bulan-bulan lainnya. Banyak yang mengaku sangat menunggu kehadirannya dan sangat bergembira saat kedatangannya. Tapi kembali menjadi sebuah pertanyaan, benarkah mereka bahagia?

Saya jadi teringat kisah seorang sufi dari Madura yang dianggap sedikit gila karena tindakannya sering bertentangan dengan khalayak umum. Suatu ketika menjelang awal ramadhan semua warga kampung gotong royong membersihkan masjid dan memasang baliho bertuliskan “Marhaban ya Ramadhan, Kami senang menyambutmu”, pada saat yang sama sang sufi melihat orang yang memasang baliho sambil bersidekap dan tertawa terkekeh, semakin lama semakin meledak gelak tawanya sehingga mencuri perhatian dari semua warga kampung. Salah seorang dari warga kampung memberanikan diri untuk bertanya. “kenapa sampean tertawa cak?”, kemudian sambil tersenyum sang sufi menjawab “apa benar kalian senang dengan kedatangan ramadhan?”dengan wajah heran seseorang itu membalas “ya tentu cak, kan ini bulan suci, dibulan ini kita bisa memperbaiki diri. Kita menjalani ibadah puasa dan ibadah-ibadah yang lain diganjar dengan pahala yang berlipatganda” tiba-tiba tawa dari sang sufi semakin meledak dan secara otomatis semua warga kampung mengelilingi sang sufi dan seorang yang berbicara dengannya. “kalian tidak usah munafik, bulan ramadhan tidak pernah kalian harapkan kedatangannya”.

Dengan wajah yang semakin heran seorang itu balik bertanya “kenapa sampeyan bilang seperti itu cak? Sampeyan ini sudah suudzon pada kami”, tiba-tiba dengan wajah yang serius sang sufi menjawab “kenapa harus menunggu saat-saat tertentu untuk meningkatkan ibadah, kenapa harus di iming-imingi pahala yang berlipatganda baru kalian mau beribadah? Jika puasa tidak diwajibkan apa kalian tidak akan puasa? Jika sholat tidak diwajibkan apa kalian tidak mau sholat? Jika surga dan neraka tidak ada apa kalian akan berlomba-lomba dalam kebaikan? Bukankah kalian melakukan itu semua karena terpaksa? Jika tidak di iming-imingi itu semua ramadhan akan kalian anggap biasa-biasa saja kan? Pernahkah kalian mencoba untuk beribadah tanpa mengharap pahala. Kalian katanya belajar ilmu ikhlas tapi ibadah saja pamrihnya tanpa batas” kemudian sambil tertawa sang sufi pergi meninggalkan kerumunan yang masih dalam keadaan penuh tanda tanya dan tersentil.

Kisah di atas terinspirasi dari buku merasa pintar bodoh saja tak punya karya Rusdi Mathari, saya masukan dalam tulisan ini karena itu adalah realitas yang sering terjadi. Percakapan antar tokoh hanya mengandalkan ingatan tidak persis dengan kisah aslinya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop