Buruh: Stereotip Remeh dan Awal Mula Adanya THR

Setiap kali mengawali bulan Mei, kerap dijumpai berbagai flyer atau pamflet-pamflet yang berisikan beragam desain ucapan tentang perayaan hari buruh, atau istilah lainnya adalah May Day. Ya, pada tanggal 1 Mei memang ditetapkan sebagai peringatan hari buruh dan dirayakan oleh seluruh buruh di seluruh penjuru dunia. Lumrahnya, para buruh tersebut merayakan peringatan hari buruh dengan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan menuntut hak-hak yang harusnya mereka peroleh.

Berbicara mengenai buruh, pertanyaan yang selalu melintas dalam pikiran dan benak saya yakni siapa sajakah orang-orang yang dapat disebut sebagai buruh? Apakah profesi seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Dosen pun dapat juga disebut sebagai seorang buruh? Kemungkinan besar, sebagian dari mereka merasa kurang nyaman atau risih jika disebut demikian. Saya tekankan kembali, sebagian.

Saya pribadi tidak begitu heran jika mereka yang berprofesi sebagai PNS, Dosen, Pekerja Kantoran, atau Tenaga Medis, atau yang sejenis (yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi) merasa ‘gengsi’ jika profesi mereka dilabeli sebagai profesi buruh. Hal tersebut tidak lain karena stereotip yang mengalir di khalayak masyarakat tentang kata “buruh” yakni hal-hal yang rendah, keras, dan sepele. Kata buruh identik dengan profesi pekerja pabrik, tukang angkut barang di pasar, atau profesi lain dengan pekerjaan yang terbilang berat dan upah yang rendah.

Stereotip atau pandangan masyarakat mengenai buruh dengan konotasi negatif seperti diatas sebenarnya tidak muncul begitu saja. Dahulu, setelah Indonesia baru saja mencapai kemerdekaan, masih belum ada badan kementrian Negara yang dengan spesifik mengatur dan mengelola buruh. Dan pada akhirnya pada tanggal 3 Juli 1947, didirikanlah kementerian yang mengatur secara khusus mengenai buruh; Kementerian Perburuhan.

Di kisaran tahun-tahun tersebut kata karyawan, tenaga kerja, atau pegawai jarang disebut dalam penggunaan bahasa seperti hari ini. Kata buruh lebih familiar ditelinga masyarakat dan merupakan sebutan yang menyatukan karyawan, pegawai, dan tenaga kerja. Dampaknya, gerakan-gerakan yang diinisiasi oleh kaum buruh memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan Negara.

Namun, saat eksisnya era Orde Baru kondisi pun ikut berubah. Presiden terpilih pada masa itu merubah nama Kementrian Perburuan dengan nama “Kementrian Tenaga Kerja”. Saya lebih sreg menyebut pengubahan nama Kementrian tersebut sebagai strategi, strategi yang licik. Alasan saya menyebutkan itu yakni bukan tanpa sebab, saat itu terjadi berbagai perpecahan dalam kelas buruh. Ada serikat buruh yang namanya berubah menjadi serikat pekerja, meskipun tetap ada yang menggunakan nama serikat buruh. Oleh karenanya gerakan buruh yang pada mulanya sangat kuat dan solid, menjadi terpecah belah.

Cara ini membuahkan sebuah keberhasilan lain pula. Terlihat ketika para pekerja yang mendapat embel-embel sebagai pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau PNS (termasuk mereka dengan profesi Guru atau Dosen) wegah disebut sebagai buruh. Padahal jika melihat definisi dari kata “buruh” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “buruh”  diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Sama-sama berkerja untuk orang lain agar mendapatkan upah, bukannya pegawai yang lebih berpendidikan tersebut melakukan skema yang serupa?

Lalu apa hubungan antara buruh dan adanya Tunjangan Hari Raya (THR)?

THR yakni pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan di Indonesia. Biasanya, THR dibayarkan kepada pekerja dalam bentuk uang, yang disesuaikan dengan agama yang dianut pekerja. Meskipun demikian, beberapa perusahaan atau “tempat kerja” memberikan THR dalam bentuk bahan kebutuhan pokok. Dalam hal ini saya tidak ingin membahas bentuk pemberian THR tersebut, melainkan membahas bagaimana awal mula munculnya Tunjangan Hari Raya ini.

THR sendiri tidak muncul secara tiba-tiba seperti ayam yang membuang kotorannya di pelataran rumah orang-orang. Tapi, ada proses perjuangan yang dilakukan oleh kaum terdahulu, yakni buruh. Dilansir dari arahjuang.com, kisaran tahun 1950an, serikat buruh memperjuangkan adanya “perbaikan nasib”. Sebab, pada tahun tersebut upah kaum buruh masih sangat rendah bahkan bagi buruh yang memiliki istri dan anak sekalipun. Lebih parah lagi, diikuti pula dengan kenaikan harga bahan pokok kebutuhan. Upah rendah ini juga terjadi di hampir semua jenis lapangan kerja yang ada.

Pada saat itu, kebijakan THR adalah bagian dari beberapa program kesejahteraan yang digunakan untuk pamong praja atau yang sekarang disebut PNS. Hal ini dilakukan agar pamong praja mendukung kebijakan dan program-program pemerintah pada kala itu. Sesuai aturan pada saat itu, THR hanya didapatkan oleh pamong praja saja, bukan pekerja swasta. Kebijakan itulah yang menyulut protes dari para kaum buruh. Kaum buruh beranggapan bawasannya kebijakan pemberian THR tersebut tidak adil, sebab mereka sama-sama bekerja baik ikut pemerintah maupun di perusahaan swasta.

Pada akhirnya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang merupakan organisasi buruh terbesar saat itu, menyerukan berbagai protes perlawanan. Hingga pada tahun 1994 dengan melewati segala bentuk perjuangan panjang, aturan THR diatur secara resmi melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.

Stereotip mengenai kata buruh dengan konotasi negatif harusnya mulai dihilangkan. Disamping para kaum buruh yang telah memperjuangkan perihal THR, para pegawai, karyawan, atau tenaga kerja yang gengsi ketika dirinya disebut sebagai buruh harusnya malu jika mereka tahu bahwa yang memperjuangkan adanya THR kala itu mengatasnamakan “buruh”.

Mengutip potongan lirik dari lagu “Worker’s Song” milik band ber-genre celtic punk asal Amerika Serikat; Dropkick Murphys. Begini kira-kira bunyinya:

We’re the first ones to starve, we’re the first ones to die,

And we’re always the last when the cream is shared out,

The first ones in line for that pie in the sky,

Jika ndak bisa bahasa enggres, itu urusanmu.

Perjuangan buruh seakan sia-sia jika dibandingkan dengan anggapan masyarakat, terlebih masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah keatas. Orang-orang pada umumnya menganggap demo yang dilakukan kaum buruh saat perayaan hari buruh hanyalah sekadar suatu cara untuk menghambur-hamburkan waktu, membuang tenaga, dan membuat macet jalanan. Padahal kebanyakan dari mereka tidak menyadari hal seperti misalnya kenaikan upah minimum diumumkan naik adalah sedikit–banyak andil dari kaum yang menghambur-hamburkan waktu, membuang tenaga, dan membuat macet jalanan tersebut.

Selamat hari buruh, untuk para buruh di seluruh belahan Dunia!

Penulis: Ahmad Naylin Ni’am Asshobir

Ilustrator: Billy Lafi Aula

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop