Menelisik Independensi Jurnalistik Di Era Kebebasan Pers

Oleh: Saiful Ma’arif

Tak bisa dipungkiri, bahwa suatu hal yang selalu terbesit dikalangan insan jurnalistik ialah darimana awal kebebasan pers itu datang dan untuk apa kebebasan pers itu ada. Dalam tulisan ini, penulis ingin sekali untuk melihat independensi pers dan ketajaman karya insan jurnalistik di era kebebasan pers. Mungkin tulisan ini tidak penting bagi pembaca yang bukan kalangan pers dan insan jurnalistik yang sudah tidak lagi independen, dengan artian menyajikan berita yang tidak berimbang dan adil.

Ketika melihat pada masa penjajahan, pers begitu akrab dengan raja tanpa mahkota HOS. Tjokroaminoto. Dengan kecerdikannya, ia memanfaatkan pers untuk melawan kolonial Belanda yang salah satuya melalui media Oetoesan Hindia. Pak Cokro, dalam menyadarkan rakyat pribumi salah satunya melalui media massa dan mengkritik tajam kolonialisme penjajah saat itu. Bertujuan untuk kemerdekaan bangsanya sendiri, dengan melihat bahwa bangsanya kaya tapi yang meraup keuntungan hanya bangsa penjajah, rakyat pribumi tetap saja hidupnya melarat. Independensi pers juga berlanjut pada masa Orde lama dan Orde baru, dimana pada masa itu keberadaan pers dikekang kebebasaannya, hingga banyak media yang dibredel saat itu. Disebabkan tidak sejalan dan selalu mengkritik pemerintah.

Salah satu hak asasi terpenting masyarakat dunia ialah hak atas informasi untuk megetahui apa yang ingin diketahuinya. Hal ini tak lepas dari peran insan-insan pers, dimana disetiap saatnya ia betugas untuk mencari, mengumpulkan, pengolah dan menyebarkan atau menginformasikan berita baik melalui media cetak dan elektronik. Sebagai negara demokrasi, kemerdekaan pers merupakan salah satu bentuk kedaulatan rakyat yang menjadi unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Sehingga, kemerdekaan dalam mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin.

Kemudian, dipertegas lagi tentang kebebasan pers dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komonikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Meliputi mencari, memperoleh, memiliki, penyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan garfik maupun dalam bentuk lainnya melalui media cetak dan elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.

Ditetapkannya Undang-undang tersebut menjadi sarana positif bagi perkembangan pers, dimana sebelumnya pers terkekang akibat kediktatoran kekuasaan politik Orde baru. Tak heran jika perkembangan pers tak hanya berkembang dalam media cetak, melainkan sudah merambah pada media online. Adanya media online menjadi posisi strategis bagi insan pers dalam menjalankan fungsinya untuk memberikan informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial. Dimana, saat ini media online memberikan informasi yang lebih updated daripada media cetak. Tak bisa dipungkiri lagi jika Napoleon Bonaparte “saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu tentara musuh”. Peluru timah panas yang ditembakkan tentara musuh hanya mengenai badan, tapi peluru-peluru huruf yang ditulis oleh wartawan akan menjadi kalimat yang mengenai otak, akan mengubah kognisi, mengubah afeksi dan psikomotorik yang lambat laun tulisan tersebut bisa menggerakkan banyak orang. Seperti yang dialami oleh Bill Clinton, karirnya hancur akibat kasus perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky terbongkar wartawan. Sehingga, keberadaan pers di suatu negara sangatlah penting, sebab pers dijadikan sebagai alat kontrol pemerintah. Bahkan pers dijadikan sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Namun, adanya Undang-undang kebebasan pers perlu dianalisis akan keberadaannya. Seperti yang diungkapkan oleh Yacob Oetama bahwa kebebasan pers bisa berakibat baik dan juga berakibat buruk. Kesan yang terlihat, kebebasan pers tidak membuat lebih baik tatanan sosioal-politik yang demokratis. Selain itu, independensi pers hanya dijadikan slogan dan formalitas semata, serta keberpihkan tulisannya sangat menonjol, tak menghiraukan marwah kode etik jurnalstik yang ada.

Seorang jurnalistik (wartawan) saat ini banyak yang melanggar etika jurnalistik, menulis berita bukan untuk kepentingan masyarakat tapi untuk kepentingan pemerintah atau kepentingan pengusaha. Sehingga lebih tepatnya, karya yang ditulis bisa disebut sebagai produk humas. Berbanding terbalik dengan isyarat yang disampaikan oleh Bill Kovacg dan Tom Resenstiel bahwa loyalitas utama jurnalistik itu pada masyarakat. Selain itu, hal tersebut tidak sejalan dengan Kode Etik Jurnalistik yang termuat dalam Pasal 1, menyatakan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Sehingga, independensi dari output yang dihasilkan oleh seorang wartawan bertujuan untuk memperjelas kejelasan suatu masalah yang orientasinya pada kebenaran.

Perkembangan pers di era reformasi ini juga banyak yang tidak sejalan dengan Kode Etika Jurnalistik, yang ditetapkan oleh Perhimpunan Wartawan Indonesia (PWI), termuat dalam pasal 3, 4 dan 5. Dalam pasal 3, Dijelaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan,memuttarrbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul,sadis dan sensasi berlebihan. Sehingga dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, dan menyinggung perasaan agama. Pasal 4, Berisikan bahwa wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat mengutungkan dan merugikan seseorang atau suatu pihak. Pasal 5, Memuat tentang wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

Lunturnya idealisme dan independensi insan pers saat ini, dipengaruhi oleh pers yang dijadikan profesi dan sumber pendapatan. Jika insan pers sudah seperti itu, perlu dipertanyakan independensi kebenarannya, keberpihakan bukan terhadap yang benar melainkan ada persoalan komersil di dalamnya. Dikutip dari mantan Sekretaris Jendral (Sekjen) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yaitu “Maju tak gentar membela yang bayar”, sinisme masyarakat penikmat berita terhadap insan pers. Apalagi pada saat pemilu raya, banyak yang sudah menyatakan sikap untuk mendukung salah satu calon. Akibat yang ditimbulkan banyak media-media bodong yang menginformasikan hal-hal yang tidak akurat, perlu dipertanyakan kebenarannya atau sering disebut denganistilah HOAX.

Jika dibandingkan, karakteristik independensi pers saat Orde baru dan masa reformasi, tentu lebih independen pada saat Orde baru. Karena banyak media-media jurnalistik yang dibredel oleh pemerintah, berbeda dengan masa sekarang dimana kebebasan pers sudah dirasakan kenyamanannya. Sehingga kebebasan pers tersebut dipermainkan keberadaannya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Pasal 3,4, dan 5 yang termuat dalam Etika Jurnalisitik.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop