SELEMBAR KERTAS PUTIH

Oleh: Taufik A.

Namaku Putra. Nama panjangku Putra Dinursa, lahir tanggal 5 Juli 1995. Aku anak kedua dari ibu Diana yang telah tulus melahirkanku, dan ayah Nursa yang selalu memotivasiku. Kedua orang tua yang begitu istimewa dihidupku. Dan aku seorang Mahasiswa Ekonomi di Universitas Trunojoyo Madura.

Iya.. aku punya satu kakak. Kakak perempuan yang memang kebetulan lahir dua tahun lebih awal dari pada aku. Kakak cantik, baik hati, dan tidak sombong (meski agak crewet sih, malahan crewet banget) yang selalu mendukung setiap ayunan langkah demi langkahku. Dan sekarang sedang tidur.

Aku mengatakan kakaku cerewet karna dulu aku sering terkena omelannya, memang sih aku nakal, bawel, ndablek, dan tak jarang malah buatnya menangis. Dan itu semua itu semua menurutku wajarlah.., namanya juga adek laki-laki.

Yang laki-laki gak usah ngelak, kalian juga gitu kan?

Atau yang perempuan, kalian juga punya adek laki-laki sepertiku kan?

Ngaku aja lah, biar ndablek sama nakalku ada temennya.

*
….Bangkalan, (10/2015)
Senyum mentari pagi meraba lembut membuka indah mata ini.

“sudah bangun putra?,”tanya Zain sembari tersenyum seolah mengejekku yang baru terbangun.

“iya zain, hehe,”jawab singkat bergandengan senyum malu ku.
“cepet ambil wudlu, shubuhan dulu sana.”

“Iya Zain nanti ah.”

“kamu kalau disuruh shalat sih nanti-nanti mulu, sudah muncul matahari juga tu loh.”

“hehe..”

Perlu kalian ketahui bahwasanya Zain merupakan temen satu kamar sekaligus temen satu kelas di Ekonomi denganku. Orangnya pendiem, agamis, dan rajin. Berbeda sekali dengan ku. Hari-harinya selalu diselipkan untuk baca yang namanya buku, dan yang aku salutkan dia taat menjalankan shalatnya.tiap shubuhpun dia bisa bangun, padahal tidurnya juga larut malam karna kutu bukunya. Ya, begitulah manusia mereka diciptakan memang berbeda-beda.

Ku tengok jarum jam yang hampir menunjuk pukul 07.15, aku pun bersiap-siap karna ada mata kuliah tepat pukul delapan nol nol.

Bergegaslah aku bersama Zain menelusuri Jl. Telang menuju kampus. Seketika tersendat langkah kaki ini karna melihatnya mata pada sosok ciptaan penuh kesempurnaan. Sosok perempuan kulit putih, hidung mancung, mata bersinar, berselimut jilbab hitam panjang terurai di mahkotanya. “Maha Suci Engkau Ya Allah,” perlahan bibir ini mengecapkan kata kesucian.

“hey, ada apa?,” tanya Zain sambil menepuk pundakku.

“idaman,” jawabku, sambil terus memandang si Dia yang mulai mendekat. (tak rela rasanya aku meninggalkan pandanganku sedang orang lain memandangnya).

“hay..,” sapa ku sesaat si Dia di depanku. Namun hanya diam sambil sedikit membuang senyum malu (balasnya). Itu membuatku cukup tertarik, dan ingin segera tahu namanya.

Kelas segera di mulai. Seperti biasanya, Zain duduk di depan dan aku duduk di kursi paling belakang. Duduk di belakang membuatku semakin tidak konsen dengan apa yang dipaparkar dosen hari ini. Pikiranku semakin melayang tak karuan bersama manis senyum si sosok penuh kesempurnaan itu. Ahhhhhh….. siapa sih namamu?

Sore mulai diujung senja menuju malam yang kelam. Pikiran seolah tak mampu berfungsi selain padanya. Hingga larut malam “selamat tidur kamu. I’ll see your soon.”

Pagi yang indah, sinar mentari menyapa wajahku yanag teramat lelah karna memikirkan si Dia semalaman. Hari ini hari Rabu, dan aku free gak ada mata kuliah. Rasa tertarik dan penasaranku pun masih terbenak rapi dalam pikiran. Sifat malasku sekilas hilang terbawa deraian angin Madura pagi ini, dan aku memutuskan pergi ke perpustakaan hanya untuk sekedar membaca buku. Iya, membaca buku.

Kalian pasti tau lah, niat asliku apa?
Betul. Aku ingin pergi ke kampus (perpustakaan) hanya ingin melihat si Dia, sambil memastikan bahwa Dia belum kembali ke Negeri Kahyangan. Dan segera tahu namanya tentunya.

Setelah hampir dua puluh lima menit lamanya aku memilah serta memilik buku, tak juga aku menemukan yang aku inginkan. Hingga akhirnya tak sengaja punggungku sedikit mengenai orang di belakangku. Ku tengok ke belakang dan Diapun menengokkan mukanya menghadapku. “deg.” Denyut jantung ini yang mengencang. “hey… kam..mu..,”ucapku terpatah-patah antara gugup sama takjub.

Sunnguh aku masih tidak menyangka dugaanku akan bertemunya benar-benar terjadi. Tapi ini memang terjadi, dan aku bukan lagi dalam halusinasi mimpi. Dengan ini pun semakin memantapkan kepercayaanku bahwasanya Tuhan memang benar sesuai prasangka hamba-Nya. “hmmm kok bengong?,” dengan lirih suara merdu itupun akhirnya keluar dari bibir lembut nan manisnya.

“Putra ,” seketika mulut lancangku mengenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

“Hafifah,” jawabnya sembari memberi selembar kertas putih kepadaku, lalu pergi meninggalkanku.

Lantas akupun berfikir untuk apa kertas ini? Apakah ini caranya untuk menolak ajakan tanganku bersalaman, lalu tanganku dikasihnya kertas ?. Atau mungkin Dia ingin memberiku kenang-kenangan dengan selembar kertas ? Tapi kenapa harus selembar kertas putih yang kosong ?. ahhhh…. sudahlah gak usah dipikir toh juga yang penting aku sudah tahu namanya.

“Hafifah” nama yang begitu indah yang mampu menyakinkanku bahwa bidadari memanglah ada, dan membuatku tersenyum lebar hari ini, tetapi juga membuatku bingung dengan pemberian kertasnya.

Hari terus berlari, rembulan silih berganti dengan mentari, hanya satu dalam benak ini yaitu seorang perempuan misterius bernama Hafifah dengan kertas putihnya. Setiap hari aku berharap untuk dipertemukannya kembali, namun tak kunjung dapat bertemunya. Mungkin belum saatnya aku bertemunya kembali, atau mungkin juga belum saatnya aku mengembalikan titipan selembar kertas putihnya yang selalu kubawa dalam tas sederhanaku.

*
(11/2015)
Setelah pemberian kertas putih itu, hampir satu bulan aku tidak pernah melihatnya lagi. Mentari yang biasanya menyapa pagiku dengan senyuman kinipun menjelma seolah tak punya senyum. Akupun perlahan mulai melupakan sosok jelmaan yang sempat menghantuiku beberapa hari yang lalu. Mungkin si bidadari itu sudah kembali ke negeri kahyangan dan tak dapat kembali ku temukan.

Kini aku mulai bisa fokus dalam perkuliahan, walaupun fokusku berbeda dengan Zein yang IPKnya selalu 4,0. Setidaknya sudah siap menghadapi UTS minggu ini. Pikiranku saat ini benar-benar tak tercampuri oleh sosok Hafifah si jelmaan itu. Aku bisa lebih tenang mengerjakan UTS tanpa bayang-bayangnya.

Hari Sabtu tepat UTS berlalu, liburan satu minngu mengajakku pulang ke kampung halaman. Seperti biasanya aku bersama Zain pulang bersama menyebrang pulau diatas kapal tangguh Joko Tole. Zain di dalam dan aku diluar sembari menikmati desiran ombak serta belaian lembut angin laut. “samlikum, kertasnya masih dibawa ?,” selintas mengagetkan diamku.

“walaikumsalam,” sambil ku tengok dia aku menjawab salamnya. Kalau enggak jelmaan apa coba? Setelah hampir satu bulan tak pernah ku temukan kini muncul kembali dan masih dalam kesempurnaan yang sama. Mungkin aku sudah agak lupa, namun yaang kuingat, kertas putih itu masih kusimpan rapi dalan tasku. “ini kertas titipanmu yang masih kusimpan,” ku berikan kembali kertas itu biar aku merasa tidak punya tanggungan lagi kepadanya. “kenapa harus selembar kertas putih dan masih kosong?,” selanjutnya aku bertanya.

“kertas putih dan kosong itu seperti wanita.”

“kok bisa?.”

“wanita itu seperti kertas putih, yang mudah kotor apabila tidak dijaga dengan baik, yang mudah sobek apabila tidak dijaga dengan baik, dan kosong tidak berkesan apapun tanpa adanya coretan pena.”. Mendengar penjelasannya akupun hanya diam memperhatikannya.

“dan kamu, sebagai laki-laki itu seperti pena yang akan membuat kertas yang semula kosong menjadi berisi, yang semula putih bersih akan memiliki arti.”

“sudah sampai, ayo mari turun,” sambil menghela nafas dia mengajakku turun, karena memang kapal sudah sampai dalam dekap pelukan pelabuhan. Terima kasih Hafifah dari selembar kertas putih kosongmu kini aku mulai mengerti tentang wanita.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop