PERGI

Oleh: Syahroni

“Selamat pagi”, suara tua itu kembali terdengar ditelingaku.
Seperti biasa, pagi ini tidak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Matahari terbit menyinari rumput yang masih basah dengan embun, burung berkicau terbang lalu-lalang, ayam jantan berkokok sembari menggoda betinanya. Ya, tidak ada hal yang berbeda disetiap paginya.

Seperti biasanya, laki-laki senja yang kupanggil kakek dan selalu mengucapkan kata selamat pagi telah bersiap dengan segala peralatannya.

“Jalu, mau sampai kapan kamu bermalas malasan seperti itu, ayo bangun nak” terdengar suara kakek memanggil. Dengan tangan yang masih mengorek ngorek sisa belek aku dengan malasnya bangun dan bersiap untuk pergi. Tanpa mandi, sikat gigi, apalagi sarapan pagi. “jangan lupa pintunya dikunci” pesan yang selalu diucap kakek ketika hendak pergi. Dengan gerak yang masih juga malas aku mengunci pintu gubuk itu, gubuk yang meskipun tidak dikunci bahkan tikuspun enggan untuk masuk karena memang tidak ada yang dapat dicuri.

Hari ini kami berdua akan pergi kepasar untuk menjual hasil panen singkong di pekarangan gubuk, tidak seberapa memang, mungkin uangnya hanya cukup untuk membeli persediaan garam dalam satu minggu. Tapi itu tetap dapat aku syukuri, setidaknya rebusan singkong kami rasanya lebih bervariasi dengan taburan garam yang kami beli.

“Besok hari pertama kita menjalankan ibadah puasa, kamu mau sahur dengan apa?” pertanyaan kakek di perjalanan yang tiba-tiba. Aku tahu uang hasil menjual singkong tidak akan cukup untuk membeli makanan yang enak, meskipun cukup untuk membeli nasi dan lauk sederhana namun itu hanya cukup untuk satu kali makan, sedangkan untuk satu minggu kedepan kami harus makan apa.

“Tidak usah kek, kita sahur dengan sisa singkong yang ada dirumah, uang hasil jual singkong hari ini kita buat beli garam, nanti saat kita merebus singkok garamnya ditambah biar lebih gurih”.

“Orang lain biasanya kalau hari pertama puasa, sahur dan bukanya istimewa”

“Bagiku bukan makanannya yang istimewa kek, tapi bulannya”

Sambil tersenyum kakek berkata
“Kau sudah semakin bijak gini, siapa yang mengajari”

“Bukankah kakek yang mengajari?”

“Astaghfirullah, mungkin kakek sudah tua, ingatan kakek sudah tidak seperti dulu lagi”

Hari sudah menjelang sore, kami sudah sampai di gubuk. Perjalanan dari pasar memang sedikit menyita waktu, selain karena jaraknya yang jauh, usia kakek yang sudah rapuh memaksa kami untuk lebih sering berhenti untuk melepas letih. Aku yang membuka pintu gubuk itu, tidak ada yang kurang dan tidak ada yang lebih. Agaknya hanya persediaan dapur yang bertambah. Ya, garam.

“Kamu yakin… tidak mau makan makanan yang istimewa di sahur dan buka puasa pertama?” Kakek kembali mengulang pertanyaannya.

“Memangnya apa yang bisa kita makan kek, singkong dan garam itu yang kakek maksud istimewa?” Kemudian kakek beranjak dari tempat duduknya untuk keluar gubuk sembari mengajakku untuk melihat sesuatu.

“Lihat, kau lihat ayam itu, sudah hampir satu minggu dia tidak makan, tubuhnya mulai kurus dan badannya sudah sangat lemah. Jika dibiarkan ayam itu bisa mati sia-sia”.

Memang kami memiliki sedikit hewan peliharaan. Ya, hanya ayam jumlahnya 4 ekor, 2 betina satunya sedang mengerami, 2 jantan dan satunya sedang terjangkit penyakit.

“Lantas mau kakek apakan ayam itu? Mau dibawa ke mantri hewan? masak iya si mantri mau kita kasi singkong sebagai balas jasa?”.

“Kau ini bagaimana, tadi pagi bijak kok sekarang hilang bijaknya” Sambil mengusap ngusap rambutku layaknya seorang kakek terhadap cucunya.

“Kita jarang makan ayam toh? Kita punya ayam biasanya kalau tidak mati diterkam biawak ya kita jual untuk beli beras. Kita memang hanya bisa makan nasi setelah jual ayam. Apa kamu tidak ingin sahur dan buka puasa pertama kita makan singkong dan ayam bakar?”.

Tanpa menunggu jawaban iya dariku, kakek langsung mengambil belati untuk segera memproses ayam penyakitan itu menjadi ayam bakar. Barulah kita bisa setidaknya sedikit sama dengan orang lain. Makan makanan istimewa di sahur dan buka puasa pertama.

Satu minggu sudah kami menjalani ibadah puasa di ramadhan tahun ini. Seperti orang-orang lainnya, kami senang menjalankan ibadah-ibadah sunnah di bulan yang suci ini, tarawih selalu kami ikuti bersama di masjid kampung, sesekali aku tinggal di masjid untuk tadarus, kakek yang sudah tua tidak mampu lagi dengan lancar membaca Al-quran, jadi dia pulang duluan. konon dia waktu masih muda pernah juara tartil dikampung. Namun keadaan sudah berbeda, hanya beberapa surat saja yang dia baca dengan sisa sisa kemampuannya menghafal. Sayangnya aku tidak bisa mengikuti jejaknya menjadi juara tartil.

Gubuk kami yang berada dipinggir kampung menjadikan kami sedikit terisolasi dari warga lainnya, aku juga sangat jarang bermain dengan teman-teman sebayaku dari kecil, perasaan minder selalu menghalangi.

Setiap pulang taraweh ada saja makanan yang kami bawa dari masjid, kebiasaan warga dikampung memang selalu berlomba lomba untuk menyediakan makanan untuk para jamaah. Kadang tahu petis, kadang onde-onde dan kue kue lainnya. Kami bawa kue itu tentu bukan untuk dimakan seketika, melainkan untuk menu sahur nanti malam.

Setelah aku pulang tadarus aku melihat kakek duduk di kursi kayu yang sudah mulai reyot, menghadap ke dua pohon kedondong yang berbuah banyak. Melihat kedatanganku kakek langsung mempersilahkan aku untuk duduk.

“Lihat dua pohon kedongdong itu, dulu ayah dan ibumu yang menanamnya sewaktu kamu masih dalam kandungan ibumu. Sekarang kamu sudah besar dan pohon itu juga sudah besar”.

Mendengar itu tiba-tiba hatiku terenyuh ingat pada ayah dan ibuku yang belum pernah aku tahu seperti apa wajah mereka berdua. Tidak ada kenang-kenangan berupa gambar atau foto yang dapat aku lihat untuk ku ketahui seperti apa wajah kedua orang tuaku. Kata kakek ayahku hanyut terbawa arus sungai ketika memancing dan ditemukan tiga hari kemudian dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Sedangkan ibuku meninggal sesaat setelah pertama kali memberikan asinya padaku. Setidaknya aku pernah minum asi ibuku.

“kenapa dengan pohon itu kek?”

Sambil batuk-batuk kemudian menyeka mulutnya kakek melanjutkan
“Setiap hari ada saja orang yang memberikan makanan di masjid untuk para jemaah, itu amal mereka. Kakek juga ingin beramal seperti mereka, tapi dengan apa? Hanya kedongdong ini yang bisa kakek sumbangkan”.

“Jika memang itu yang kakek mau, tidak apa kek, besok kita ambil buah kedongdong itu kemudian kita berikan ke jemaah taraweh”.

“Yasudah sana kamu tidur nanti kesiangan yang mau sahur, jangan lupa simpan tahu itu buat kita makan sahur”. Aku meninggalkan kakek diluar, kulihat dari pintu kakek tetap memandangi kedua pohon itu sambil senyum-senyum dan ngangguk-ngangguk.

Ke esokan paginya terasa ada yang janggal, tidak ada ucapan selamat pagi dari kakek. Aku segera beranjak keluar dan kudapati kakek sudah berada di bawah pohon kedongdong sambil memegang galah dan mengumpulkan kedongdong. Sesekali berhenti karena nafas kakek yang terengah-engah diselingi batuk yang semakin parah. Aku hampiri kakek dan membantunya mengumpulkan buah kedongdong yang telah jatuh dan memasukannya kedalam plastik.

“Kenapa kakek tidak membangunkanku dulu, aku bisa membantu kakek biar kakek tidak kelelahan seperti ini”.

“Sudahlah jangan ngomong terus, cepat kumpulkan kedongdong itu”.

“Uhuk..uhuk…” kulihat kakek batuknya semakin parah namun dia tetap tidak mau menghentikan pekerjaannya.

“sudah kek, kakek batuknya semakin parah, kakek istirahat saja biar aku yang melanjutkan”.

Sambil menyeka mulutnya yang belakangan ku ketahui ternyata keluar darah. Kakek berkata “Kakek tidak apa-apa, maklum sudah tua. Kalau kata orang ini batuk kubur”. Kakek sambil tersenyum seakan ingin menunjukan bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah selesai pekerjaan itu kakek segera masuk ke gubuk dan istirahat, aku tinggal diluar untuk membereskan sisa-sisa ranting pohon yang ikut jatuh. Kemudian memberi makan ayam peliharaan dan berjalan-jalan keliling pekarangan gubuk untuk melihat tanaman singkong.

Waktu berbuka sebentar lagi tiba, aku harus bergegas merebus singkong untuk menu buka puasa. Sore kali ini juga terasa ada yang janggal, seperti pagi tadi yang tidak ada ucapan selamat pagi. Ada perasaan yang mengganjal dalam pikiran, sinar jingga seakan lebih sayu dari sore-sore sebelumnya, ayam yang biasanya sudah mulai masuk kandang sekarang masih berkeliaran, celoteh burung tidak lagi mengiringi kepergian matahari. Apa yang akan terjadi? Hatiku benar-benar ada yang mengganjal.

Dengan perasaan yang akupun tidak bisa mengerti, aku masuk ke gubuk. Aku dapati kakek sedang tertidur di ambin kayu yang beralas tikar pandan. Tidak biasanya aku melihat pemandangan seperti ini. Sejak aku kecil kakek selalu melarangku untuk tidur menjelang maghrib, katanya banyak godaan setan. Tapi kenapa kakek justru sekarang tertidur?

Mungkin lelah, pikirku. Aku pergi ke dapur untuk merebus singkong dengan bumbu garam, selalu aku beri garam yang banyak agar lebih gurih, selain aku juga suka makanan asin. Setelah selesai itu semua, aku kembali ke tempat kakek tidur dan ternyata kakek belum juga bangun, tetap pulas dengan posisi yang sama sekali tidak berubah.

“ Kek, bangun udah hampir maghrib”, aku goyang-goyangkan tubuhnya, belum juga terbangun. Dan aku terus ulangi.
“Ayo kek bangun, sudah mau buka puasa”. Tetap tubuh itu tidak bergerak, perasaan cemas mulai menghampiri. Aku perhatikan lagi ternyata kakek tidur memang tidak seperti biasanya. Ada apa dengan kakek? Aku pegang kakinya dan sekujur tubuhnya terasa sangat dingin, aku ambil pergelangan tangannya, aku coba merasakan denyut nadinya. Benar saja, tidak ada sedikitpun denyut nadi yang kurasakan, seketika itu pula aku merasa kosong, bingung, seakan kurasakan detak jantungku juga berhenti. Apa yang harus aku lakukan?

Aku goyang-goyangkan badan kakek, aku panggil panggil dia.”kakek… kakek…bangun”, tidak ada gerakan apalagi jawaban. Aku segera berlari keluar gubuk, aku berlari meminta pertolongan pada siapa saja orang yang dapat aku temui. “tolong…. tolong….”.

Kemudian datang sepasang suami istri dengan berlari, “ada apa nak? Apa yang terjadi?” ibu itu bertanya dengan wajah penuh tanda tanya.

“Tolong kakekku buk, pak, tolong”. Tanpa menjawab, mereka langsung berlari menuju gubuk kami, dan bapak itu segera mengambil lengan kakek. Sambil geleng-geleng dia berkata “kakekmu sudah pergi nak”. Ucapan yang seketika membuatku tersungkur ke tanah, aku rasakan semuanya menjadi hitam, aku tidak dapat lagi merasakan sesuatu dari setiap indraku.

Aku kembali membuka mata, ternyata aku jatuh pingsan. Ibu yang pertama tadi kutemui sudah duduk disampingku membawa segelas air. Kulihat sekeliling ternyata warga kampung sudah berdatangan, gubukku yang sempit membatasi hanya sebagian saja yang masuk, sebagian lagi menunggu diluar. Kurasai leherku hangat dan bau minyak kayu putih, mungkin ibu tadi yang mengolesinya agar aku cepat sadar.

Warga kampung sudah mengurus jenazah kakek tanpa aku minta. Sedangkan aku? Aku masih belum bisa berdiri, tubuhku lemas dan sangat kesulitan untuk bergerak. Aku tidak bisa membantu mengurus jenazah kakek.

“Sudah nak, kamu yang sabar. Ini sudah takdir kakekmu. Semua yang ada di dunia ini fana dan semuanya akan kembali”. Ibu itu mencoba untuk meberikan wejangan padaku agar bisa lebih tenang. Aku hanya ngangguk-ngangguk dengan lemas dan air mata tanpa terasa membasahi pipi. “sudah sekarang kamu istirahat, pulihkan lagi kesehatanmu, ikhlaskan kakekmu. Biar kami semua yang mengurus segala prosesnya hingga kakekmu dimakamkan, nanti setelah sholat tarawih biar ada tahlilan kecil-kecilan di masjid dari warga kampung. Itu sudah kewajiban kita semua”. Kata-kata dari ibu itu sedikit membuatku tenang setidaknya aku tidak sendirian mengurus jenazah kakekku dan ada yang bantu mendoakan lewat tahlil.

Tanpa aku sadari ternyata aku telah tertidur, aku lihat gubuk sudah sepi, orang-orang sudah pulang. Aku beranjak dari ambin dengan tubuh yang masih lemas aku coba berjalan keluar. Baru aku sadar, ternyata aku belum berbuka puasa. Aku juga baru ingat tadi sempat merebus singkong, setelah kulihat ternyata singkongnya sudah hangus, tidak berbentuk singkong rebus lagi. Dan tidak dapat dimakan, apa boleh buat. Buka puasa kali ini tidak ada hasrat sama sekali untuk makan sesuatu, cukup air putih untuk membatalkan puasaku.

Selamanya tidak akan ada ucapan selamat pagi, yang punya kebiasaan sudah pergi. Setiap pagi kuharus lewati sendiri. Tidak ada yang dapat aku sesali karena memang semua yang datang pasti akan pergi. Tubuh yang renta itu sekarang sudah kembali ke tempat asalnya, dia menghadap penciptanya, tubuh yang sudah puluhan tahun merasa sepi kini sudah berada di kehidupan yang hakiki.

Aku duduk termenung di ambin kayu tua, sesekali terlintas bayangan wajahnya yang begitu senja, orang tua itu…. ya dia benar-benar telah tiada. Kupandangi sekeliling gubuk yang sepi, dari dulu memang sepi tapi sekarang semakin sepi, di pojokan belakang pintu ada bungkusan plastik lumayan besar, itu adalah kedongdong yang baru dikumpulkan kakek tadi pagi untuk disumbangkan ke jamaah taraweh. Tiba-tiba aku terbangun dari tempatku termenung. “niat kakek harus tetap terlaksana meskipun orangnya sudah tiada” pekikku dalam hati.

Menjelang adzan isyak aku bergegas membawa bungkusan plastik itu untuk kuberikan pada jemaah taraweh, itu adalah keinginan terakhir kakek dan itu sedekah katanya, karena memang hanya itu yang bisa kami berikan.

Selepas taraweh dan tahlilan untuk kakek di masjid bersama warga kampung aku langsung pulang, entah rasanya hanya ingin menyendiri malam ini. Sepanjang perjalanan bulan nampak begitu terangnya menyinari sepanjang perjalanan, langit memang begitu cerah malam ini dan bintangnya pun terlihat sumringah, namun tidak berbanding lurus dengan kedalaman hati yang kurasakan.

Sesampainya digubuk tua dan sepi ini, aku langsung rebahkan tubuh yang terasa sangat lelah diambin yang juga tua, sekali lagi aku termenung sendiri.

“Kakek? Ya, tidak salah lagi itu kakek”. Aku melihat kakek sedang duduk dikursi dan kakinya diangkat ke atas seperti biasanya jika dia sedang makan, tangannya memegang sesuatu dan sesekali memakan apa yang ada ditangannya. Itu adalah kedongdong, ya kedongdong, kakek sedang memakan kedongdong. Wajahnya terlihat sangat bersinar dan senyum diwajahnya semakin lebar, kulihat dia sangat menikmati kehidupan yang saat ini, dia tidak lagi merasa sepi. Kedongdong yang dipegangnya membuat dia lebih bahagia.

Telapak kakiku terasa dingin dan aku segera terbangun, mimpi yang membawaku pada pertemuan yang indah itu hampir saja membuatku melewati waktu sahur.

Meski sendiri kini aku tidak lagi sepi, kesendirian tidak selamanya membuat sepi. Tergantung bagaimana kita menikmati.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop