Pendidikan Instansi Apa School Tanpa Ijazah?

Oleh: Zaqiyah

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk seluruh generasi bangsa, banyak masyarakat yang mewajibkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan baik pendidikan formal dan non formal dengan tujuan agar kelak menjadi manusia yang pandai tak mudah untuk dibodoh-bodohi oleh orang lain. Selain itu, agar mudah dalam mencari pekerjaan dengan selembar kertas ijazah yang didapatkan dari pendidikan formal. Namun tak sedikit pula dari rakyat yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan bahkan enggan untuk menempuh pendidikan sebab larangan adat. Salah satunya ialah Suku Baduy Dalam dan Suku Samen yang enggan untuk memperbolehkan keturunannya menempuh pendidikan formal, alasannya nanti ketika pinter bukan pinter untuk dirinya dan orang lain dalam hal kebaikan malah pinter untuk membodoh-bodohi orang lain. Selain itu, mereka memilki pandangan bahwa tak perlu sekolah formal yang menting anak kita diajari membaca dan berhitung sederhana sudah cukup, sebab kita akan kembali pada alam dan ita akan memelihara alam yaitu dengan cara bertani.

Sejalan dengan Suku Baduy, sebelum negara-negara kolonial menjajah negara kita. Nenek moyang kita tidak kenal yang namanya ijazah ataupun sekolah, tapi banyak hal mereka belajari dalam kehidupan. Seperti, cara-cara bertani, mengenal alat-alat penting rumah tangga dan mengedepankan modal sosial dalam pengembangan UMKMnya. Orang yang memberikan ilmu terhadap meraka dianggap guru, tak memandang itu siapa dan dari mana. Dan semua tempat dijadikan sekolah. Bisa dikata, berdirinya gedung-gedung megah yang bernama sekolah awalnya berasal dari kolonial-kolonial penjajah.

Disaat mendengar kata “sekolah”, identiknya pada gedung-gedung yang berderet, berbaju seragam dan ada strata sosial di dalamnya dimana orang-orang melewatkan sebagaian masa hidupnya untuk belajar. Namun, arti kata aslinya, yaitu kata skhole, scola, scolae (latin) yang berarti “waktu luang atau senggang”. Sejarahnya, Bangsa Yunani dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi seseorang yang pandai untuk mempelajari hal yang ikhwal yang mereka rasa perlu dan butuh untuk diketahui. Lama kelamaan, kebiasaan tersebut tidak hanya diperuntukkan terhadap kalum lelaki biasa dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani kuno, tapi juga diberlakukan bagi putra-putri mereka. Kesibukan orang tua yang semakin beragam, sehingga tidak memiliki waktu banyak untuk mengurusi anaknya. Karena itu, mereka mengisikan waktu luang untuk anaknya dengan cara menyerahkan kepada seseorang yang dianggap pandai sesuatu di tempat tertentu. Di situlah anak-anak bisa bermain, berlatih dan belajar apa saja yang dianggap penting. Karena semakin banyak anak-anak yang harus diasuh oleh suatu lembaga yang mengurusi waktu luang tersebut, diberlakukannya sistem yang teratur, waktu yang lebih lama dan ber administrasi sebagai upah balas jasa.

Banyak tokoh yang memprakarsai pengasuhan yang melembaga ini, Amos Comenius, Uskup Agung Moravia yang dianggap sebagai fons et origonya ilmu pendidikan. Dilanjut oleh Johann Heinrich Pestalozzi abad ke-18, mengatru pengomplokan anak-anak asuhnya secara berjenjang, termasuk urutan kegiatan yang harus dilalau secara bertahap. Selain itu, ada Bangsa China Purba juga sudah memulai tradisi sekolah pada 2000 tahun sebelum jesus lahir, sebelum Socrates dan Plato menyeenggarakan Acadenia di Athena. Dipahami, engertian sekolah yang kita pahami berpangkal sekolah yang muncul dari sejarah Yunani Kuno, itulah yang harus ditelusuri dimana kemudian kita warisi melalui tradisi sekolha kolonial, berkat kebijakan “politik balas budi”.

Mau percaya atau tidak, dalam kenyataannya ada sekolah yang tidak mempunyai daftar buku dan mata pelajaran, jadwal belajar, dan tidak ada kelas yang dibagi pertingkat dan perjurusan, serta tidak menyelenggarakan ujian kolektif seperti yang lazim dilakukan. Inilah yang penting, sebab murid-murid bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang akan mereka lakukan dan pelajari, serta dengan cara bagai mana yang menurut mereka paling tepat untuk dirinya. Hal ini sejalan dengan bapak pendidikan kita, dikenal dengan sebutan K. Hajar Dewantara. Mengatakan bahwa pendidikan diibaratkan dengan taman, taman bermain yang membuat anak-anak merasa nyaman saat bersekolah. Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, banyak dari sebagian siswa ketika ingin berangkat dan berada di dalam kelas merasa malas ingin cepat pulang. Sebab jenuh akan halpelajaran yang didapat, tapi senang jika sudah berada di luar kelas. Bahkan ada yang mengatakan bahwa, hal yang menyenangkan di sekolah ialah saat istirahat dan saat waktu menunjukkan pulang.

Sistem yang ada pada sekolah sangatlah bermacam-macam, dianataranya ada sekolah yang lengkap dengan ruang kelas dan gurunya, ada sekolah yang dapat dilaksanakan disembarang tempat dengan sistem belajar jarak jauh, dikenal dengan sebutan sekolah terbuka, kemudian ada sekolah tinggi wiraswasta secara sadar dan sengaja tidak menyediakan ijazah atau gelas akademis apapun dari sekolah ini. Hal di atas merupakan sebagaian kecil sekolah formal, masih banyak lagi sekolah-sekolah tidak formal yang perkembangnnya signifikan, baik dalam bentuk gerakan sosial dan dalam hal lest private.

Selembar kertas ijazah merupakan kertas yang sakral bagi calon-calon tenaga kerja, seberapapun ide cemerlang yang dimiliki namun tidak punya ijazah tetap saja kita tidak bisa beranjak dari kursi kelas paling bawah. Sehingga banyak para orang tua berbondong-bondong untuk menyekolahkan anaknya, selain agar pintar juga mengharap anaknya mendapatkan pekerjaan yang layak. Kebanyakan yang mengagungkan kitab suci sekolahnya (ijzah) berdampak pada berbedaan fungsi asli sekolah. Menurut Benjamin Bloom, fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yaitu membentuk watak dan sikap, mengembangkan pengetahuan, dan melatih keterampilan. Bagaimana dengan sekarang…?

Seberapa besar watak dan sikap seseorang dibentuk oleh lembaga yang namanya sekolah?, orang-orang yang yang dapat membuat sejarah masa lalu, apakah dibentuk oleh sekolah?, jelas tidak. Jika sekrang banyak orang yang berwatak dan bersikap setengah manusia, seperempat binatang dan seperempat setan, apakah itu hasil dari sekolah?, dan jika banyak lulusan sarjana sekolah tinggi yang larut untuk jadi koruptor dan tukang peras rakyat kecil… itu termasuk salah siapa?, sebab tak mungkin sekolah-sekolah infromal yang tidak memberikan ijazah terhadap anak didiknya langgeng untuk menjadi penguasa tertingi negeri. Seberapa besar pula ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh anak sekolah sekarang yang benar-benar diberikan oleh lembaga yang bernama sekolah?, kemudian seberapa banyak keterampilan dan temuan ilmiah yang dihasilkan sekolah?, jika memang semuanya dihasilkan sekolah, kok bisa ya… banyak pelatihan atau keterampilan kerja yang kebanyakan diikuti oleh lulusan sekoh negeri. Selan itu, jika sudah siap dengan matang atas proses 3 tahun minimalnya sekolah kok masih banyak siswa-siswa yang masih menambah jam belajar atau lest private agar lulus UN atau lulus perguruan tinggi, apakah pendidikan tidak siap untuk mencetak colan-calon tenaga kerja yang unggul?, salah satu contohnya, banyak lulusan sarjana ekonomi yang bekerja menjadi guru bahasa, dll. Lantas rasanya tidak ada gunanya dibentuk konsep dan sistem terperinci dalam sekolah. Sekolah saat ini bukan lagi memanfaatkan waktu luang, tapi lembaga untuk menangkap peluang.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop