Pendidikan Ditengah Pandemi Corona

Sejak akhir Desember lalu, dunia digemparkan denganĀ  munculnya virus mematikan dari daratan China. Wuhan, kota dimana virus corona pertama kali muncul. Virus yang merusak sistem pernapasan itu menjadi penyakit yang sangat menakutkan karena belum ada vaksin yang bisa memerangi virus itu.

Sejak menjadi pandemi di seluruh dunia, virus ini menimbulkan dampak yang tak main-main. Tak hanya pada sektor kesehatan, virus ini juga telah membobol pertahanan sektor ekonomi, pangan, sosial, pendidikan, bahkan sampai pada ritual beragama warga dari berbagai negara.

Demi mengerem laju penyebaran virus ini di Indonesia, Pemerintah Pusat secara resmi mengeluarkan kebijakan Physical distancing, sebuah langkah untuk menghindari terciptanya kerumunan massa yang memicu penyebaran virus tersebut, termasuk anjuran untuk bekerja, belajar dan beribadah dari rumah

Menindaklanjuti kebijakan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara proses belajar mengajar di sekolah. Sebagai ganti, sistem daring (online) dipilih menjadi solusi sementara.

Namun, permasalahan baru muncul saat sistem ini mulai dilakoni, kuota internet yang relatif mahal dan tak terjangkau semua kalangan, koneksi internet yang tak stabil menjadi kendala berjalannya sistem ini, sedangkan tidak ada kompensasi pendukung yang diberikan.

Akibatnya, pengajar hanya bisa memberikan tugas online tanpa penjelasan detail yang justru membuat siswa dan mahasiswa kalang kabut. Sistem ini juga diklaim kurang efektif dan membuat para siswa dan mahasiswa kurang maksimal menerima materi pembelajaran.

Kebijakan sistem perkuliahan daring salah satunya juga dapat menyebabkan mahasiswa untuk tidak berada di rumah saja. Bagaimana tidak? Penggunaan kuota internet yang tidak murah dan juga tidak adanya subsidi pengembalian sebagian Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada sebagian perguruan tinggi bisa menyebabkan mahasiswa keluar rumah untuk bekerja demi mendapatkan uang guna membeli kuota internet tersebut.

Keluhan atas sistem pembelajaran daring tak hanya datang dari siswa atau mahasiswa saja. Beberapa kali saya jumpai di media sosial instagram terdapat postingan dari seorang anak yang mengeluhkan karena ayahnya yang sudah cukup tua dan menjadi seorang dosen ketika melakukan sistem perkuliahan dengan aplikasi zoom, beberapa mahasiswa dari ayahnya tersebut tidak menyimak dengan baik materi yang disampaikan. Padahal, ayahnya yang kurang mengetahui teknologi tersebut telah berusaha membuat materi dan belajar teknologi demi mengikuti saran pemerintah melakukan sistem belajar daring tersebut.

Sistem belajar daring ini dilakukan oleh semua lapisan pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA (sederajat) dan kuliah. Dalam melakukan sistem pembelajaran se-tingkat SD diperlukan pendampingan orang tua secara langsung karena tidak semua anak SD sudah diizinkan untuk menggunakan gadget. Beberapa orang tua yang mendampingi anaknya yang masih dijenjang pendidikan SD juga merasa keberatan karena harus menjelaskan terlebih dahulu bagaimana cara mengoperasikan aplikasinya, kemudian baru menjelaskan dan membantu anak tersebut mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Anak TK yang hidupnya di sekolah hanya bermain dan ketika keadaan seperti ini dipaksa untuk belajar, tidak banyak dari mereka yang mau belajar karena yang mereka tahu adalah mereka libur bukan belajar dari rumah (Study From Home). Maka diperlukan kerja sama antara pemerintah, dosen atau guru, serta siswa atau mahasiswa untuk tetap melanjutkan kegiatan belajar mengajar ini.

Kebijakan untuk menghapuskan Ujian Nasional (UN) tak kalah kontrofersial, UN yang selama ini menjadi ajang tolok ukur keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan ini menjadi ancaman bagi para pelaku pendidikan jika sampai dihapuskan. Sebut saja lembaga bimbingan belajar yang selama ini menjadi alternatif untuk mendapat nilai gemilang saat UN, kini terancam kehilangan pangsa pasarnya, pun begitu dengan pelaku penjual kunci jawaban, meski terdengar amoral, namun inilah fakta yang terjadi di masyarakat kita.

Pola pikir masyarakat kita yang menganggap bahwa kecerdasan siswa hanya diukur dari nilai UN juga disinyalir akan mengalami sedikit goncangan. Selama ini tak sedikit siswa yang rela belajar mati-matian demi nilai UN yang gemilang dikhawatirkan akan menurunkan semangat belajar mereka karena tidak perlu lagi berkompetisi dalam UN.

Semua bencana dan kebijakan pasti memiliki dampak baik ataupun buruk. Akhirnya, penulis mengembalikan kepada pembaca, mana yang perlu dikoreksi, kebijakan pemerintah yang harus menyesuaikan kultur masyarakat atau masyarakat kita yang harus berbenah dengan pola pikir yang lebih baik? Tentu dalam keadaan seperti saat kini, kita harus tetap mampu melaksanakan kegiatan pendidikan sebagaimana mestinya.

Oleh: Alvyn Syahru P.

Mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop