Pandemi Covid-19 dan Keadaan Ekonomi yang Terpuruk

Pandemi global Corona Virus Disease (Covid-19) kini telah merenggut puluhan ribu bahkan jutaan jiwa melayang dari seluruh penjuru dunia. Bahkan di Indonesia sendiri terhitung pada tanggal 16 April 2020 sudah terdapat 5.136 korban positif dan 469 korban meninggal yang disebabkan oleh makhluk mikroskopis ini. Virus corona tidak hanya sekedar menggangu kesehatan manusia saja, kemunculan virus ini turut serta mengubrak-abrik sistem pendidikan bahkan sampai ekonomi nasional karena pemerintah menghimbau untuk melakukan Physical Distancing sehingga membatasi ruang gerak seseorang untuk melakukan aktivitas sosial dan pekerjaan seperti biasanya.

Keadaan ekonomi Indonesia saat ini sedang terpuruk. Perdagangan antar negara terganggu, proses produksi terhambat, dan akhirnya mengakibatkan ekonomi merosot. Harga pangan yang merambat naik karena supply terganggu, ruang gerak semakin terbatas karena tuntutan Physical Distancing dari pemerintah dan imbasnya adalah penghasilan bakal turun. Ya, mungkin kecuali Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mendapat gaji bulanan dan dijamin oleh negara. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengandalkan upah harian dan mereka yang bekerja jika ada order saja? Silakan pembaca mencari jawabannya sendiri.

Virus corona telah berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar kini mencapai Rp. 16.273. Investor asing kini banyak yang menarik kembali dananya dari pasar di Indonesia. Dibutuhkan gerakan yang cepat dan tepat untuk segera mengatasi masalah ini. Sudah tidak waktunya lagi pemerintah menganggap remeh semua dampak yang ditimbulkan dari adanya pandemi global ini.

Bukan hanya menghabisi perusahaan besar, pandemi ini juga berimbas lebih besar kepada mereka yang menggantungkan hidup dengan upah harian. Salah satu yang terkena imbasnya adalah pedagang kaki lima yang semakin hari pendapatannya semakin menurun. Banyak pedagang kaki lima yang mengeluhkan kehidupannya saat ini dikarenakan kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi, harga kebutuhan pokok semakin mahal, kurangnya pemasokan logistik dari pemerintah maupun orang yang lebih mampu. Masyarakat semakin dilema karena pemerintah mengeluarkan aturan untuk Physical Distancing serta banyak juga daerah yang saat ini melakukan karantina wilayah agar meminimalisir penyebaran virus ini. Banyak pekerja terpaksa terkena dampak Pemutus Hubungan Kerja (PHK), pengurangan massal akan terus terjadi sampai meredanya pandemi covid-19.

Pekerja yang terkena PHK tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut. Mereka tidak memiliki penghasilan sampai waktu yang tidak ditentukan ini. Sehingga banyak dari mereka yang bekerja serabutan demi kelangsungan hidup sehingga beberapa dari mereka tidak peduli lagi akan himbauan pemerintah untuk Physical Distancing. Ditengah pandemi global yang terjadi, Presiden Joko widodo ingin tetap mempertahankan komponen pasokan makanan. Hal ini terlihat dari bagaimana pemerintah berupaya meningkatkan stimulus ekonomi dan pengaman sosial bagi masyarakat yang terdampak oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Tapi melihat kondisi yang berkembang saat ini jumlah kasus covid-19 semakin meningkat, keengganan pemerintah melakukan lockdown dengan  pertimbangan dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Nyatanya penanganan kasus ini semakin sulit karena penyebarannya begitu cepat. Berbagai upaya baik dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Desa mulai memperketat dalam penanganan covid-19. Memang mencegah lebih baik dari pada mengobati, tetapi semuanya sudah terlambat karena pemerintah dirasa kurang yakin dan tepat dalam mengambil keputusan untuk menangani pandemi covid-19 ini.

Penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi tersebut karena konsumsi rumah tangga, serta investasi dan konsumsi pemerintah yang turun. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyatakan konsumsi rumah tangga menurun menjadi 3,2 persen hingga 1,6 persen dan investasi minus 4,22 persen. Selain itu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku sudah mempersiapkan skenario dari yang buruk sampai yang terburuk. Langkah ini disiapkan untuk menghadapi berbagai kemungkinan dan implikasi sosial serta keuangan akibat virus corona.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo melakukan penyuntikan likuiditas Quantitative easing yang merupakan salah satu kebijakan moneter yang diambil bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang beredar di pasaran. Dengan kebijakan dari Bank Indonesia diharapkan membantu menumbuhkan konsumsi masyarakat yang menjadi daya dukung pertumbuhan ekonomi, menumbuhkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan dunia usaha saat wabah masih berlanjut. Namun, kebijakan tersebut tidak akan tepat sasaran apabila tidak didukung dengan kebijakan pendukung dari sisi fiskal.

Pemerintah memberikan stimulus fiskal guna meningkatkan daya beli dan mengurangi perlambatan ekonomi akibat wabah virus corona. Rencana pemerintah ini direspon positif oleh para pekerja. mereka dapat mengalokasikan gaji untuk keperluan lain seperti membeli kebutuhan pokok dan kebutuhan sanitasi seperti cairan pembersih tangan dan masker. Di sisi lain stimulus fiskal ini tidak akan meningkatkan konsumsi, namun hanya mempertahankan daya beli masyarakat. Tingkat konsumsi masyarakat tentu akan mempengaruhi stabilitas ekonomi karena ketika masyarakat lebih konsumtif maka permintaan akan naik dan harga barang juga akan lebih mahal.

Tidak tepatnya sasaran keputusan pemerintah dapat mengakibatkan efek jangka panjang. Tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi saja, melainkan juga dalam aspek hidup masyarakat Indonesia. Kerancuan pengambilan keputusan dalam menangani covid-19  sehingga diperlukan adanya pembenahan dan revisi karena masih ada beberapa yang tidak efektif dalam menangani covid-19 sehingga bisa mengendalikan dan mengontrol ketidak stabilan keadaan ekonomi nasional.

Oleh: Moh. Zaenal Arifin

Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Trunojoyo Madura

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop