Mengambil Manfaat Covid-19: Learning From Home (LFH) sebagai Pijakan Awal Generasi Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0

Demi memotong laju penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pemerintah mengeluarkan kebijakan belajar dari rumah (Learning From Home). Kebijakan yang menyasar dunia pendidikan diberbagai jenjang ini membuat tenaga pendidik memutar otak dengan memakai algoritme tertentu agar peserta didik merasa asik dan tidak tertekan dengan mekanisme penyampaian materi atau tugas yang diberikan. Dengan memperhatikan psikis sang anak, mengingat pada masa seperti inilah mereka dianjurkan untuk tidak memikirkan segala  hal yang menjadikan beban pikiran sehingga membuat imunitas tubuh mereka melemah dan dikhawatirkan akan terjangkit virus apabila peserta didik tidak memiliki sistem imunitas yang cukup kuat. Maka tenaga pendidik seyogianya memberikan asupan materi secara cukup dan tidak overload di pangkal memori otak mereka.

Di sini para tenaga pendidik benar-benar sangat diuji kekreatifannya melalui proses pembelajaran yang bisa dikatakan baru bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar atau mungkin sebagian bagi mereka yang duduk di bangku sekolah menengah atau malah mungkin bagi pengajar yang (mohon maaf) sebelumnya belum menyentuh dan membiasakan dirinya melalui kemajuan teknologi belakangan ini. Hal inilah yang menjadi polemik di masa pandemi seperti sekarang ini. Suatu preferensi tersendiri bagi penulis untuk menekankan persoalan yang fundamental ini pada kurang lebih lima ratus sampai dengan delapan ratus kata selanjutnya.

Tak bisa dielakkan, terhitung mulai dari diberlakukannya kebijakan Learning From Home (LFH) menuai banyak problematika dikalangan peserta didik. Tak jarang saran dan kritik terus dilayangkan sebagai acuan untuk menjadikan proses belajar dari rumah bertambah bijak dalam menyikapi keadaan dan tepat sasaran dalam mengambil risiko keputusan-keputusan yang harus diambil.

Di sisi lain, banyak kalangan dari berbagai jenjang pendidikan yang masih mengeluh karena masih merasa bingung dengan model pembelajaran yang serba digital akibat dampak yang disebabkan covid-19. Mulai dari platform pembelajaran yang dinilai masih bergandengan dengan kata eror, daerah dengan minimnya akses internet, tidak adanya bantuan operasional pada civitas academica tertentu untuk membantu peserta didik dalam mengakses platform yang tentunya tidak gratis, hingga mekanisme penyetoran tugas juga tidak kalah njelimet alias tidak sederhana.

Learning From Home (LFH) juga mengharuskan agar orang tua di rumah saling sinergi dengan anaknya. Dengan memakai prinsip Tut Wuri Handayani yakni menuntun sang anak untuk bisa berpikir secara merdeka untuk membuat keputusannya sendiri. Dan orang tua diharapkan hadir menjadi sosok konsultan yang berkualitas bagi sang anak bukan lagi menjadi ajudannya. Mengapa demikian? karena aktivitas sekolah di masa pandemi ini tidak lagi memberikan kontribusinya secara maksimal. Oleh karenanya, kesanggupan orang tua untuk menjadi konselor yang andal bagi anaknya adalah hal yang sangat menunjang progres yang tak terhindarkan supaya anak-anak bisa menunaikan aktivitas belajar (keilmuan maupun kehidupan) sesuai harapan. Masalahnya, kembali lagi patut kita pertanyakan ulang. Apakah semua orang tua mampu menguasai teknologi yang bisa menunjang proses belajar sang anak? Tidak semua orang tua begitu, banyak dari mereka masih gagap teknologi. Pertanyaannya, apakah kita bisa menyongsong revolusi industri 4.0?

Lebih lanjut, belum lagi di daerah dengan minimnya akses internet meskipun cenderung daerah dengan kondisi seperti ini banyak ditemui di daerah pedalaman atau terpencil mereka juga tidak mau dinomorduakan oleh pemimpin. Dengan berpegang teguh pada semboyan bangsa “Bhinneka Tunggal Ika” mereka juga memiliki hak yang sama, hak untuk hidup dan memperoleh pendidikan. Pergerakan dinamis pemerintah harus stabil dan tidak berat sebelah. Mungkin yang menjadi masalah pemerintah dari dulu adalah pemerataan pembangunan dan sarana prasarananya yang masih jauh dari kata adil dan tidak sepadan rasanya dengan gelora yang selalu digema-gemakan pemerintah dibeberapa media tentang Indonesia yang menyongsong era revolusi 4.0.

Lantas persiapan apa yang akan dicanangkan oleh pemerintah terhadap daerah dengan akses internet yang kurang memadai tersebut?. Apalagi dengan makin terpuruknya kondisi negeri ini memberikan imbas yang sangat besar dirasakan oleh bangsa ini. Bagaimana kelanjutan generasi mereka? bagaimana program yang selalu digaungkan tersebut? jikalau ada yang tertinggal, apakah pengemudi dengan membawa minibus terus jalan saja meninggalkan yang tertinggal? Ataukah sang pengemudi tersadar dari keacuhannya ketika melihat ada yang tertinggal di kaca cembung bagian samping bus tersebut dan memutar balik kemudi kemudian merangkulnya dan memfasilitasi segala keperluannya, setidaknya jangan malah menabrak dan menyisakan nama mereka.

Di masa pandemi seperti ini sebenarnya masa-masa yang sangat bagus bagi bangsa untuk dijadikan pijakan pembelajaran awal guna menyongsong era revolusi industri. Karena masyarakat dituntut untuk berdiam diri di rumah dan menjalankan segala aktivitasnya dengan memanfaatkan teknologi digital. Ini merupakan fenomena langka yang kita temui. Tapi dengan fenomena baru seperti ini orang-orang akan beradaptasi dengan sesuatu hal yang baru yaitu dunia digital. Mau tidak mau orang-orang akan menghabiskan sebagian banyak aktivitasnya untuk berinteraksi dan mencukupi kebutuhan hidupnya melalui media daring. Itu artinya orang-orang yang semula tidak lincah dalam menggunakan teknologi akan belajar lebih banyak dan menjadikannya lebih lincah dan orang-orang yang semula buta teknologi akan belajar dan membuka penglihatannya akan teknologi sehingga bisa mengoperasikan teknologi.

Dengan menggunakan falsafah jawa “Sing Ra Edan Ra Keduman” bisa sangat relevan dengan keadaan sekarang. Apabila mayoritas masyarakat bisa menguasai teknologi dan apabila ada minoritas masyarakat tidak bisa mengoperasikan teknologi, maka untuk menjadi salah satu bagian agar tidak terasing dan terkucil adalah dengan cara mengikuti kalangan mayoritas. Yaitu belajar untuk bisa menguasai dan mengoperasikan teknologi. Namun, di sisi lain ada beberapa faktor lagi yang bisa menunjang hal itu terjadi yakni ketersediaan akses dan sarana prasarana yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sinergitas antara kemauan dan pengaplikasian tentunya. Oleh karena itu, menurut saya untuk menyiapkan bangsa ini menyongsong era revolusi industri 4.0 terlebih dulu harus membenahi segala macam sarana prasarana yang masih rumpang, memberikan dukungan fasilitas bagi mereka yang kurang memadai dan juga memberikan akses bagi mereka yang tertinggal.

Memang tidak mudah merealisasikan itu semua mengingat Indonesia ini bukan negara kecil bagaikan satu kecamatan saja. Indonesia merupakan negara dengan jumlah pulau yang sangat banyak. Tentu tak mudah, satu kabupaten di Indonesia saja ada yang memiliki kurang lebih 50 pulau. Ibarat bahtera, dibutuhkan nahkoda yang handal untuk mengarungi badai negeri ini. Nahkoda yang bisa mengantarkan bangsa yang besar ini, begitu julukan yang diberikan Ir. Soekarno kepada kita sampai ke bibir dermaga dengan selamat dan sentosa. Serta mengembalikan gelar yang diberikan oleh Cak Nun sebagai negeri yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur bukan perkara mudah. Sebelum itu kita dihadang oleh problem seperti sekarang ini dan alam kerap menguji dengan taraf sesuai porsi masing-masing. Problem solusi, problem lagi solusi lagi, begitu seterusnya. Sampai pada saat kita benar-benar diuji apakah benar kita semua ini manusia atau hanya singkong rebus. Pesan terakhir dari penulis, semoga segala lapisan masyarakat sekarang ini tabah menjalani ujian ini dan menjadikan segala musibah yang ditimpakan tuhan kepada kita sebagai bentuk rasa kasih tuhan, dan mengambil fadhillah dalam setiap kesulitan. Untuk pemerintah bercandaannya dikurangin. Menteri Hukum dan HAM jangan sibuk ngeluarin orang ketika orang-orang diharuskan untuk mengurung dan berdiam diri di rumah, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Dan Investasi tetap tersenyum, innallaha ma’ashobirin.

Oleh: Muhammad Zaki Wahyudi

Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Trunojoyo Madura

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop