Larasati – Pramoedya Ananta Toer

Judul Buku : Larasati
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN : 978-979-97312-9-6
Tebal : 183 Halaman

Sebuah kisah sepak terjang seorang artis pada masa revolusi dimana keadaan belum sepenuhnya stabil bahkan masih sangat kalang kabut. Larasati, tokoh utama dalam Roman ini adalah seorang artis layar perak yang sekaligus pejuang revolusi dan anggota dari republikan (kumpulan pemuda pejuang revolusi yang tidak mau kemerdekaannya direnggut bangsa lain). Larasati seorang perempuan yang usianya sudah berkepala tiga namun digambarkan sebagai sosok yang begitu molek dan montok, bahkan siapapun lelaki yang melihat dirinya akan terpancar cahaya berahi dari matanya. Larasati sepenuhnya menyerahkan hati dan jiwanya pada sesuatu yang agung yang mereka sebut REVOLUSI. Baginya revolusi bukan sebuah kelompok apalagi sekedar angan-angan kosong, revolusi adalah dirinya sendiri, revolusi ada pada semua orang yang cinta dan ingin berterimakasih pada tanah air yang telah memberinya hidup.

Pram mengambil latar waktu dimana usia bangsa indonesia masih sangat belia, tatanan pemerintahan belum sepenuhnya baik sehingga Belanda dan Sekutu masih tetap merongrong kemerdekaan yang sudah dirintis oleh bangsa ini. Latar tempat yang diambil adalah Jogjakarta dan Jakarta dimana kedua daerah itu merupakan salah satu tempat di Negeri ini yang penuh pertumpahan darah dari para pemuda pejuang revolusi. Dari Jogjakarta di daerah pedalaman, Ara (panggilan akrab larasati) memulai perjalanannya menuju kota Jakarta, tujuan awalnya adalah menyuarakan revolusi dari seni peran dan sandiwara. Berbeda dengan pemuda revolusi lainnya yang berjuang melalui kokang senjata, dari awal Ara memulai karirnya di dunia peran dia selalu menjadikan revolusi sebagai topik utama dalam perannya sebagai seorang artis, dan dia selalu menolak untuk memainkan film yang berisi propaganda dari Belanda, sebab itulah namanya selalu disanjung dimanapun dia berada.

Sepanjang perjalanan dari Jogja ke Jakarta, Ara bertemu dengan orang-orang baru yang tidak semuanya dia kenal tapi orang-orang itu semuanya mengenal Ara sebagai seorang artis yang diidolakan. Sebagian mengidolakannya karena perjuangannya untuk revolusi dari jalan yang berbeda, sebagian lagi mengidolakan kemolekan dan parasnya. Sepanjang perjalanan itu juga Ara bertemu saudara-saudaranya sesama pejuang revolusi dan para penghianat revolusi para opsir inlander yang gila akan pangkat dan kedudukan. Pada dasarnya tujuan mereka yang berjuang atu yang berhianat adalah untuk urusan makan dan masa depan, hanya saja ada dua cara berbeda yang ditempuh. Pertama melalui jalan revolusi dan kedua menjilat pantat penguasa atau menjadi pemimpin yang korup, yang terakhir ini adalah sesuatu yang sangat menjijikan terutama bagi mereka yang sudah rela mati demi tanah airnya.

Penderitaan, penyiksaan dan intimidasi yang selama ini Ara lihat dan alami sendiri membuat dirinya semakin mengesampingkan karirnya di dunia peran, bahkan keinginan itu hilang sama sekali setelah semua orang-orang baik tak berdosa termasuk orang-orang terdekatnya tewas demi mempertahankan keagungan revolusi. Dia memilih jalan perlawanan yang lebih keras daripada sekedar propaganda revolusi dari panggung ke panggung, salah satunya dengan terjun langsung ke medan pertempuran dimana dia sudah mulai bisa mengalahkan rasa takutnya sendiri bahkan pada kematian. Sesekali menang namun tidak jarang juga harus menelan kekalahan dan menguburkan mayat saudara-saudaranya yang gugur. Begitulah revolusi, hari ini menang maka besok harus siap menerima kekalahan, itu adalah siklus. Ara seudah mengalami siklus itu sembari mengimpikan masa depan yang cemerlang bagi kehidupan bangsa yang diisi oleh generasi setelahnya.

Revolusi remuk dan hancur karena pemimpin-pemimpin tua yang sudah semakin banyak membelot, bahkan Ara sendiri merasakan dirinya ada pada titik terendah selama hidupnya. Tapi keyakinan akan keagungan revolusi tetap tertanam kokoh dalam hatinya. Sekali lagi dia berkata, Revolusi adalah saya sendiri, revolusi tidak akan pernah mati.

“kalau mati, dengan berani;
Kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada,
Itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”
— Pramoedya Ananta Toer

Diresensi oleh : Syahroni

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura. Program studi Manajemen.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop