Gagal Paham Dalam Membaca Berita

Oleh: Rony

Manajeman

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Trunojoyo Madura

 

Perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para kaum elit intelektual, kapabilitasnya dalam dunia akademik seharusnya bisa lebih diandalkan daripada mereka yang tidak mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh maka semakin tipis kemungkinan seseorang untuk menghadapi persoalan secara barbar.

Sayangnya, masih banyak mahasiswa yang sering gagal paham dan belum bisa menggunakan akal sehatnya untuk menanggapi suatu persoalan. Kebiasaan membaca yang nihil membuat sebagian besar mahasiswa gagal untuk memahami sesuatu secara utuh. Sedikit membaca kemudian dengan mudahnya membuat kesimpulan. Tersebarnya berita bohong dan adanya beberapa orang atau kelompok yang merasa difitnah adalah masalah terbesar jika seseorang mencerna persoalan separuh-separuh.

Literasi yang tanggung dan minim membuat seseorang bertindak seolah serba tahu segala hal. Membaca berita hanya dari judul dan lead saat ini sudah membudaya, karena mereka membutuhkan informasi yang instan bukan mendalam. Ketika sudah seperti itu, maka tidak heran jika ada saja orang atau kelompok yang kebakaran jenggot saat ada judul berita yang menurut mereka tidak baik bagi dirinya atau kelompoknya.

Setelah itu barulah mereka berargumen melalui media sosial pribadinya, mengatakan “kami telah difitnah, disudutkan dan nama baik dicemarkan”. Secepatnya mereka berselancar di internet untuk mencari tahu kode etik jurnalistik, dan sekali lagi, membaca kode etik jurnalistik tidak secara utuh. Seolah sudah memahami kode etik jurnalistik, mereka kemudian mengatakan bahwa ada media yang telah menyebarkan berita bohong dan pencemaran nama baik.

Mereka yang merasa ada media menyebarkan berita bohong atau fitnah harusnya terlebih dahulu memahami perbedaan informasi yang dimuat oleh media jurnalistik dengan informasi yang disebar oleh orang pribadi melalui akun media sosial pribadi. Setiap jurnalis dituntut untuk selalu berpedoman pada undang-undang pers dan kode etik jurnalistik. Oleh sebab itu tidak ada karya jurnalistik yang bisa disebut HOAX atau fitnah, yang ada adalah pelanggaran kode etik.

Dalam undang-undang pers dan kode etik jurnalistik salah satunya mengatur hak, kewajiban dan larangan bagi seorang jurnalis dan media, mengatur tentang privasi dan jaminan keamanan narasumber, serta ada hak jawab bagi instansi, kelompok atau individu yang merasa dirugikan oleh pemberitaan yang dimuat di media.

Mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan di media mempunyai hak jawab yang bisa digunakan ketika ada penggunaan data yang salah atau pemberitaan yang kurang tepat. Namun jika dilihat kembali pada kode etik jurnalistik, seorang jurnalis atau media yang menerbitkan sebuah berita tentu sudah mempunyai data dan sumber yang jelas karena mereka dituntut untuk selalu berpatokan pada kode etik jurnalistik dan undang-undang pers.

Mahasiswa yang merupakan kaum elit intelektual seharusnya tahu apa yang harus dilakukan jika merasa dirugikan oleh pemberitaan suatu media, bukan malah menebar emosi, makian dan ancaman tidak jelas yang mana ancaman mereka sama sekali tidak dianggap sebuah ancaman. Tindakan semacam itu justru mencederai khittah seorang mahasiswa sebagai kaum akademisi yang seharusnya lebih berkelas dalam menanggapi persoalan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop