Bukan ” DEMOKRASI CINTA ” ( ada Egowangsa diantara kita )Ngalak deri kandhena kanca ll

Di garduĀ  bawah pohon gadung kau pernah bercerita tentang kehidupan cinta yang saya rasa terlalu berat kau memikulnya. Tapi bukankah air ada pasang ada surutnya, tak selamanya cemara di air tawar itu basah.

sejatinya objektivitas cinta dan kasih sayang memiliki kesetiaan. Namun apalah daya jika perasaannya seperti abu di atas angin keluarga, kau pasti tak terima tapi keikhlasanlah solusinya.

Kau tak boleh menyerah atas cinta yang kau rasakan. Mungkin sudah saatnya kau pergi dari wanita yang keluarganya memandang bulu alis dan bulu ketiak itu. Kau boleh saja berinisiatif Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan garam. Tapi dibalik semua kisahmu menyimpan kisah cinta yang amat tinggi, jika suatu saat nanti kau petik kebahagiaanlah yang kau dapat.

Dari aku mendengarkan ceritamu yang penuh kenestapaan itu menimbulkan asumsi yang seperti ini :

Saya menduga keras bahwa secara ilmu bahasa, istilah ” egowangsa ” tampaknya tak bisa dibenarkan. Tetapi saya tidak sanggup menjumpai idiom lain untuk mewakili apa yang hendak saya jelaskan.

Egowangsa adalah suatu kondisi mentalitas dimana ” kosmos kepribadian ” seseorang hampir seluruhnya diisi oleh hanya keluarganya sendiri. ” Keluarganya sendiri ” itu mungkin lebih gambalang kalau saya sebut ego-keluarga, atau bahasa umumnya menyebutnya ” interes keluarga “. Idiom yang saya gunakan itu memakai “wangsa” untuk menerangkan kadar kepenuhan interes pribadi di setiap sepak terjang pasangan hidup. Dengan kata lain: seluruh hidupnya telah di nahkodai oleh ke egoisan keluarganya.

Seseorang boleh membayangkan jika-misalnya-cinta, dan kasih sayang hanyalah bagian dari egoisme atau interes pribadi-pribadi.

Sesungguhnya anda boleh percaya bahwa hal demikian sudah merupakan pemandangan disekitar, ” dari kisahmu yang penuh kenestapaan”, ” kisah cinta dari sejak SD putus ketika sudah kuliah “, ” tenggelam dua hari disumur gara-gara pupus cinta karena di jodohkan ” cinta kita seutuhnya ” , atau apapun, amat sering diucapkan tidak sebagai idiom-idiom itu sendiri, melainkan sebagai alat proyek dari interes keluarga, cinta seringkali hanyalah berfungsi instrumental, sedangkan yang subtansial adalah ” egowangsa “.

Sesungguhnya pula, jika anda memasuki hakikat realitas dunia pertunangan-dalam konteks sempitnya maupun konteks luasnya-pandangan mata anda insya Allah akan bergelimangan ” egowangsa “. Lantas anda akan juga merasa tergetar apabila menyaksikan betapa batu cadas ” egowangsa ” itu dikonstruksikan dengan pilar-pilar kekuasan pernikahan, fundamental-fundamental beton perjodohan, serta dinding-dinding tebal kulturalisme dan birokratisme.

Jika sebuah perjodohan, atau setidaknya sebuah tunangan mengalami keretakan : anda silahkan bersangka baik bahwa itulah mekanisme Demokrasi Cinta. Itulah potret pluralitas dimana perbedaan pendapat kasih dan kehendak sayang boleh dipanggungkan.

Akan tetapi jika kemudian anda menjumpai bahwa itu bukanlah perbedaan pendapat tentang kebenaran, melainkam benturan kepentingan ” egowangsa ” , persilahkan hati nurani anda menitikkan air mata seperti itu.

Tak sempat berbicara lagi dia memotong pembicaraanku, sudahlah aku pasrah. Yang terjadi biarlah terjadi,mungkin itu bukanlah jodohku. Bentar lagi hujan aku mau pulang.

Semoga kau merasakan indahnya dicinta dan mencinta tanpa halanganĀ  yang membebani perjalanan asmaramu, sehingga kamu tak merasakan kenistapaan cinta yang kedua kalinya. semangat sobat hidupmu bermakna.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop sex shop